Random Posts

header ads

Dewan Adat: Kekerasan di Papua Dipicu Aparat

Jayapura - Ketua Dewan Adat Daerah Paniai Jhon NR Gobay berpendapat bahwa kekerasan di Provinsi Papua umumnya bermula dari tindakan represif oknum aparat keamanan TNI dan Polri dalam menangani suatu persoalan.

"Ada tindakan yang berlebihan dan arogan oleh oknum aparat keamanan (TNI dan Polri) di daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh media, sehingga kekerasan-kekerasan yang terjadi tidak terekspos dengan baik," kata Jhon NR Gobay di Kota Jayapura, Papua, Kamis.

Kekerasan dari oknum aparat itu, seperti yang terjadi di Enarotali, Kabupaten Paniai pada 8 Desember 2014. Lalu, di Intan Jaya, Deyai, Puncak, Puncak Jaya, Nduga dan Wamena, Kabupaten Jayawijaya.

"Kalau di daerah perkotaan, seperti Kota Jayapura, kekerasan itu cepat terungkap, terkekspos dengan baik. Sehingga aparat juga kelihatannya hati-hati dalam bertindak, meskipun ada juga terjadi," katanya.

Karena itu, ia menyarankan pimpinan aparat keamanan seperti Kapolda dan Pangdam di Papua atau pimpinan tingkat pusat yaitu Kapolri dan Panglima TNI memberikan pengetahuan HAM kepada bawahannya untuk bagaimana memahami dan menangani masalah di lapangan terutama menangani persoalan di Papua.

"Orang Papua dengan caranya, dengan ekspresinya menyampaikan pendapat, menyatakan keinginanannya, masih asli dalam budaya kita (gaya Papua), cara waita (demo sambil berlari dan bernyanyi), dengan tari-tarian. Ini sebenarnya ada hal yang mau disampaikan," katanya.

Seperti contoh kasus Enarotali, Paniai pada 8 Desember 2014, ada ekspresi yang mau disampaikan untuk menyelesaikan masalah, tetapi aparat yang bertugas kurang memahami budaya setempat, aparat tidak memahami psikologi dari massa, akhirnya terjadi tindakan represif terjadi.

"Pendekatan-pendekatan aparat keamanan di Papua perlu dievaluasi secara menyekluruh. Dan, kesatuan-kesatuan yang tidak semestinya ada, itu ada baiknya ditarik kel uar Papua, karena semakin banyak aparat, dengan senjata di tengah masyarakat Papua yang sudah berkurang populasinya bisa menimbulkan situasi yang kurang bagus," katanya.

Situasi itu bisa menimbulkan gesekan antara aparat keamanan dan masyarakat, dan bisa berujung pada terjadinya pelanggaran HAM berat di Papua, seperti di Paniai. "Apa lagi, ada stigma OPM yang kerap kali ditujukan kepada orang Papua jika ingin protes berlebihan," lanjutnya.

Padahal, kata Gobay, yang diberikan stigma itu merupakan bagian dari masyarakat Papua dan Indonesia yang seharusnya dilindungi dan dirangkul dengan pendekatan-pendekatan yang baik dan benar, karena kalau tidak demikian maka aparat TNI dan Polri tidak mampu melakukan tugas pokok dan fungsinya, tapi melenceng jauh.

"Maka itu, perlu evaluasi, demiliterisasi di Papua, tidak ada lagi tindakan represif yang bisa melukai hati orang Papua dan usut tuntas kasus Paniai berdarah," katanya.

Mengenai kasus Paniai, katanya, jika Komnas HAM tidak bisa mengungkap peristiwa itu, maka ada baiknya di Papua didirikan Komnas HAM daerah yang mempunyai kewenangan seperti Komnas HAM Pusat, sehingga bisa menyelidiki dan mengungkap berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua.

"Dewan Adat Paniai dan mahasisawa pemerhati kasus kekerasan, juga akan kembali ke kantor Perwakilan Komnas HAM Papua, menurunkan papan namanya sebagai bentuk protes atas lemahnya institusi itu dalam mengungkap kekerasan di Papua. Apa lagi, tidak dibentuk KPP HAM untuk kasus Paniai," katanya.

Pada Selasa (7/4), ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Kota Jayapura yang tergabung dalam Forum Independen Mahasiswa (FIM) didampingi Dewan Adat Daerah Paniai, berdemo dihalaman kantor Perwakilan Komnas HAM Papua guna mendesak dibentuk KPP HAM terhadap kasus Paniai 8 Desember 2014. (ant/bm 10)

Posting Komentar

0 Komentar