PADA waktu 9 keluarga dari Nunusaku meninggalkan kampong
halamannya, mereka tinggal di beberapa tempat keramat satu di antaranya
di Tamene Siwa di Seram Barat yaitu di antara Ahiolo dan Waraloin.
Di antara warga yang tinggal di sana ada seorang lelaki yang bernama Ameta. Ia tidak menikah dan hidup sendiri.
Pada suatu hari Ameta pergi berburu dengan membawa anjingnya. Di tengah hutan Ameta menemukan seekor babi dan melepaskan anjingnya untuk mengejar babi tersebut.
Dalam pengejaran itu tiba-tiba babi tersebut jatuh ke dalam sebuah telaga dan anjing itu hanya berdiri di tepi telaga. Tidak lama kemudian babi mati karena tak pandai berenang.
Ketika Ameta tiba di tepi telaga dan melihat babi tersebut telah mati, maka ia terjun ke dalam telaga guna mengangkat babi itu. Ketika babi di angkat diketahui bahwa pada taring babi tertancap buah kelapa. Saat itu belum ada pohon kelapa di dunia.
Ameta mengambil buah kelapa tersebut dan membiarkan babi tergeletak begitu saja. Selanjutnya datanglah orang-orang lain mengambil babi itu untuk dibawa pulang. Ketika Ameta sedang dalam perjalanan pulang ke rumahnya, ia melihat seekor kusu atau kus-kus di atas pohon. Diletakanlah buah kelapa itu diatas tanah dan Ameta memanjat pohon untuk menangkap kusu itu.
Saat binatang itu hampir tertangkap tiba-tiba ada suara orang bersiul. Ameta mencari dari mana suara siulan itu, tetapi tidak ditemukan orang lain di sekitar tempat itu.
Kusu yang hampir tertangkap itu terlepas. Ameta berusaha untuk menangkapnya lagi dan ketika hampir tertangkap tiba-tiba suara siulan itu terdengar lagi namun tidak ada seorang pun di tempat itu. Binatang itu terlepas lagi dan kembali lagi Ameta berusaha untuk menangkapnya.
Untuk ketiga kalinya ketika hendak tertangkap terdengar suara siulan kembali maka binatang itu langsung lari menghilang ke dalam hutan sehingga sia-sialah usaha Ameta untuk menangkapnya.
Dengan rasa kecewa Ameta mengambil kembali buah kelapa yang ditinggalkannya itu dan berjalan pulang. Setelah tiba di rumah, buah kelapa itu diletakkan di atas para-para (rak kayu) dan menutupinya dengan sehelai kain sarung patola yaitu kain bermotif bunga-bunga atau motif kulit ular patola.
Malam pun tiba dan Ameta pun tidur. Di dalam tidurnya ia bermimpi ada seorang laki-laki dating menemuinya dan berkata kelapa yang kamu letakkan di atas rak yang ditutupi dengan sarung itu harus kamu tanam karena kelapa itu sudah bertumbuh.
Ketika bangun dari tidurnya, pagi-pagi benar Ameta menjemput buah kelapa itu dan menanamnya di halaman rumahnya. Tiga hari kemudian, tunas buah kelapa telah menjadi tinggi dan tiga hari kemudian dari pohon kelapa itu keluarlah bunga kelapa.
Ameta memanjat pohon kelapa itu untuk memotong bunganya yang berwarna kuning keemasan. Karena sibuk, tiba-tiba jari tangannya terpotong sehingga darah Ameta menetes di atas bunga-bunga kelapa dan daun-daun kelapa itu.
Tiga hari kemudian, ia kembali lagi dan dilihatnya darah yang menetes di atas daun-daun kelapa dan bunga-bunga kelapa itu telah berubah menjadi seorang wajah manusia.
Ditinggalkannya tempat itu namun tiga hari kemudian ia kembali dan menemukan wajah manusia itu dilengkapi dengan badan dan setelah tiga hari lagi, wajah dan badan manusia itu menjelma menjadi seorang putrid.
Ketika malam tiba, Ameta tidur dan dalam mimpinya ia didatangi lagi oleh laki-laki yang pernah mendatanginya dalam mimpi sambil berkata, ambil sarung patola bungkus puteri yang berasal dari pohon kelapa dan bawa pulang.
Setelah Ameta bangun, ia menuju tempat itu dan memanjat pohon kelapa. Dengan hati-hati putri yang berada di atas pohon itu dibungkus dengan kain patola dan dibawa pulang. Ameta menamakan putrid itu, Hainuwela yang artinya Putri Kelapa.
(Sumber: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Maluku)
Di antara warga yang tinggal di sana ada seorang lelaki yang bernama Ameta. Ia tidak menikah dan hidup sendiri.
Pada suatu hari Ameta pergi berburu dengan membawa anjingnya. Di tengah hutan Ameta menemukan seekor babi dan melepaskan anjingnya untuk mengejar babi tersebut.
Dalam pengejaran itu tiba-tiba babi tersebut jatuh ke dalam sebuah telaga dan anjing itu hanya berdiri di tepi telaga. Tidak lama kemudian babi mati karena tak pandai berenang.
Ketika Ameta tiba di tepi telaga dan melihat babi tersebut telah mati, maka ia terjun ke dalam telaga guna mengangkat babi itu. Ketika babi di angkat diketahui bahwa pada taring babi tertancap buah kelapa. Saat itu belum ada pohon kelapa di dunia.
Ameta mengambil buah kelapa tersebut dan membiarkan babi tergeletak begitu saja. Selanjutnya datanglah orang-orang lain mengambil babi itu untuk dibawa pulang. Ketika Ameta sedang dalam perjalanan pulang ke rumahnya, ia melihat seekor kusu atau kus-kus di atas pohon. Diletakanlah buah kelapa itu diatas tanah dan Ameta memanjat pohon untuk menangkap kusu itu.
Saat binatang itu hampir tertangkap tiba-tiba ada suara orang bersiul. Ameta mencari dari mana suara siulan itu, tetapi tidak ditemukan orang lain di sekitar tempat itu.
Kusu yang hampir tertangkap itu terlepas. Ameta berusaha untuk menangkapnya lagi dan ketika hampir tertangkap tiba-tiba suara siulan itu terdengar lagi namun tidak ada seorang pun di tempat itu. Binatang itu terlepas lagi dan kembali lagi Ameta berusaha untuk menangkapnya.
Untuk ketiga kalinya ketika hendak tertangkap terdengar suara siulan kembali maka binatang itu langsung lari menghilang ke dalam hutan sehingga sia-sialah usaha Ameta untuk menangkapnya.
Dengan rasa kecewa Ameta mengambil kembali buah kelapa yang ditinggalkannya itu dan berjalan pulang. Setelah tiba di rumah, buah kelapa itu diletakkan di atas para-para (rak kayu) dan menutupinya dengan sehelai kain sarung patola yaitu kain bermotif bunga-bunga atau motif kulit ular patola.
Malam pun tiba dan Ameta pun tidur. Di dalam tidurnya ia bermimpi ada seorang laki-laki dating menemuinya dan berkata kelapa yang kamu letakkan di atas rak yang ditutupi dengan sarung itu harus kamu tanam karena kelapa itu sudah bertumbuh.
Ketika bangun dari tidurnya, pagi-pagi benar Ameta menjemput buah kelapa itu dan menanamnya di halaman rumahnya. Tiga hari kemudian, tunas buah kelapa telah menjadi tinggi dan tiga hari kemudian dari pohon kelapa itu keluarlah bunga kelapa.
Ameta memanjat pohon kelapa itu untuk memotong bunganya yang berwarna kuning keemasan. Karena sibuk, tiba-tiba jari tangannya terpotong sehingga darah Ameta menetes di atas bunga-bunga kelapa dan daun-daun kelapa itu.
Tiga hari kemudian, ia kembali lagi dan dilihatnya darah yang menetes di atas daun-daun kelapa dan bunga-bunga kelapa itu telah berubah menjadi seorang wajah manusia.
Ditinggalkannya tempat itu namun tiga hari kemudian ia kembali dan menemukan wajah manusia itu dilengkapi dengan badan dan setelah tiga hari lagi, wajah dan badan manusia itu menjelma menjadi seorang putrid.
Ketika malam tiba, Ameta tidur dan dalam mimpinya ia didatangi lagi oleh laki-laki yang pernah mendatanginya dalam mimpi sambil berkata, ambil sarung patola bungkus puteri yang berasal dari pohon kelapa dan bawa pulang.
Setelah Ameta bangun, ia menuju tempat itu dan memanjat pohon kelapa. Dengan hati-hati putri yang berada di atas pohon itu dibungkus dengan kain patola dan dibawa pulang. Ameta menamakan putrid itu, Hainuwela yang artinya Putri Kelapa.
(Sumber: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Maluku)