Ambon - Kejaksaan Tinggi Maluku masih mendalami dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum setempat terkait pelaksanaan Pilkada setempat 11 Juni 2013.
"Kami masih mendalami substansi dugaan korupsi tersebut sehingga belum bisa menjelaskan lebih jauh," kata Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Maluku, Benny Santoso, Senin.
Karena itu, dibutuhkan adanya data yang akurat dan objektif untuk mengembangkan prosesnya lebih lanjut.
"Jadi masih dilakukan pengumpulan data dan tetap diproses sehingga jangan ragukan kinerja jaksa," ujarnya.
Diakuinya, saat Anthon Hutabarat masih menjadi Kajati Maluku telah dibentuk tim khusus untuk mengumpulkan data terkait dugaan korupsi di KPU Maluku berkaitan dengan tahapan pemilihan Gubernur dan Wagub periode 2013 - 2018.
"Jadi pengembangan pengumpulan data untuk menjawab aksi unjuk rasa dan laporan sejumlah organisasi tergabung Forum Peduli Demokrasi Maluku(FPDM) pada 8 Juli 2013 tetap dilaksanakan," tegas Benny.
Karena itu, diimbau kepada berbagai komponen bangsa di Maluku yang mengetahui maupun memiliki data bahwa mengindikasikan ada praktek pidana dugaan korupsi di KPU silahkan menyampaikan ke Kejati.
Pelapor akan dijamin kerahasiaan identitas maupun hak -hak pribadi lainnya sesuai ketentuan KUHP.
"Jadi tidak hanya sejumlah organisasi tergabung FPDM yang menyampaikan laporan ke Kejati Maluku. Namun, perorangan atau kelompok lain silahkan menyampaikan laporan yang tertanggung jawab agar memudahkan pengungkapan," kata Benny.
Sebelumnya FPDM menyampaikan laporan ke Kejati Maluku bahwa ada indikasi praktek korupsi dilakukan komisioner KPU Maluku terkait pencetakan sura suara, pembentukan Panitia Pemungutan Suara(PPS) dan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih(PPDP) dalam rangka Pilkada setempat.
FPDM merujuk daftar pemilih tetap(DPT) sebanyak 1.186.603 orang ditambah 2,5 persen ( 29.665 surat suara) sehingga jumlahnya 1.216.268 surat suara.
Namun, kenyataannya sesuai dokumen lelang yang sudah diadendum KPU Maluku mencetak surat suara sebanyak 1.391.650 sehingga terdapat selisih 174.985 lembar.
Surat suara dicetak Rp3.800 per lembar sehingga diindikasikan terjadi kerugian negara sebesar Rp664,94 juta.
Padahal sudah dianggarkan Rp3 miliar untuk kegiatan pemutahiran maupun validasi data pemilih. KPU Kabupaten dan Kota seharusnya membentuk PPS selambat - lambatnya enam bulan sebelum pemilihan Gubernur dan Wagub Maluku periode 2013 - 2018.
Kenyataannya, PPS maupun PPDP baru dibentuk pada akhir Maret 2013 sehingga bekerja efektif hanya dua bulan. PPDP bertugas membantu PPS melakukan validasi data pemilih.
Ini berarti tenggat waktu kerja tidak efektif dan diindikasikan terjadi korupsi karena anggaran dialokasikan tidak sesuai kinerja PPS maupun PPDP sehingga dipandang perlu melaporkan ke Kejati Maluku untuk diproses hukum.
KPU Maluku saat rekapitulasi perhitungan perolehan suara hasil Pilkada di Ambon pada 2 Juni 2013 menetapkan hanya 872.643 suara yang sah dari Daftar Pemilih Tetap(DPT) sebanyak 1.186.631 orang. (ant/bm 10)
"Kami masih mendalami substansi dugaan korupsi tersebut sehingga belum bisa menjelaskan lebih jauh," kata Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Maluku, Benny Santoso, Senin.
Karena itu, dibutuhkan adanya data yang akurat dan objektif untuk mengembangkan prosesnya lebih lanjut.
"Jadi masih dilakukan pengumpulan data dan tetap diproses sehingga jangan ragukan kinerja jaksa," ujarnya.
Diakuinya, saat Anthon Hutabarat masih menjadi Kajati Maluku telah dibentuk tim khusus untuk mengumpulkan data terkait dugaan korupsi di KPU Maluku berkaitan dengan tahapan pemilihan Gubernur dan Wagub periode 2013 - 2018.
"Jadi pengembangan pengumpulan data untuk menjawab aksi unjuk rasa dan laporan sejumlah organisasi tergabung Forum Peduli Demokrasi Maluku(FPDM) pada 8 Juli 2013 tetap dilaksanakan," tegas Benny.
Karena itu, diimbau kepada berbagai komponen bangsa di Maluku yang mengetahui maupun memiliki data bahwa mengindikasikan ada praktek pidana dugaan korupsi di KPU silahkan menyampaikan ke Kejati.
Pelapor akan dijamin kerahasiaan identitas maupun hak -hak pribadi lainnya sesuai ketentuan KUHP.
"Jadi tidak hanya sejumlah organisasi tergabung FPDM yang menyampaikan laporan ke Kejati Maluku. Namun, perorangan atau kelompok lain silahkan menyampaikan laporan yang tertanggung jawab agar memudahkan pengungkapan," kata Benny.
Sebelumnya FPDM menyampaikan laporan ke Kejati Maluku bahwa ada indikasi praktek korupsi dilakukan komisioner KPU Maluku terkait pencetakan sura suara, pembentukan Panitia Pemungutan Suara(PPS) dan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih(PPDP) dalam rangka Pilkada setempat.
FPDM merujuk daftar pemilih tetap(DPT) sebanyak 1.186.603 orang ditambah 2,5 persen ( 29.665 surat suara) sehingga jumlahnya 1.216.268 surat suara.
Namun, kenyataannya sesuai dokumen lelang yang sudah diadendum KPU Maluku mencetak surat suara sebanyak 1.391.650 sehingga terdapat selisih 174.985 lembar.
Surat suara dicetak Rp3.800 per lembar sehingga diindikasikan terjadi kerugian negara sebesar Rp664,94 juta.
Padahal sudah dianggarkan Rp3 miliar untuk kegiatan pemutahiran maupun validasi data pemilih. KPU Kabupaten dan Kota seharusnya membentuk PPS selambat - lambatnya enam bulan sebelum pemilihan Gubernur dan Wagub Maluku periode 2013 - 2018.
Kenyataannya, PPS maupun PPDP baru dibentuk pada akhir Maret 2013 sehingga bekerja efektif hanya dua bulan. PPDP bertugas membantu PPS melakukan validasi data pemilih.
Ini berarti tenggat waktu kerja tidak efektif dan diindikasikan terjadi korupsi karena anggaran dialokasikan tidak sesuai kinerja PPS maupun PPDP sehingga dipandang perlu melaporkan ke Kejati Maluku untuk diproses hukum.
KPU Maluku saat rekapitulasi perhitungan perolehan suara hasil Pilkada di Ambon pada 2 Juni 2013 menetapkan hanya 872.643 suara yang sah dari Daftar Pemilih Tetap(DPT) sebanyak 1.186.631 orang. (ant/bm 10)