Oleh Isyana Artharini | Newsroom Blog
BAHWA parlemen, politisi, dan partai politik jadi pelaku besar (jika bukan terbesar) korupsi di Indonesia mungkin sudah jadi pengetahuan awam. Yang mengherankan, belum ada upaya signifikan dalam mencegah praktik korupsi yang terjadi di ranah politik tersebut. Kelompok ini seperti tak terjangkau di tengah hiruk-pikuk upaya pembenahan integritas memberantas korupsi yang sedang terjadi.
Sampai sejauh ini tak ada mekanisme jelas yang bisa memaksa parlemen, politisi, dan parpol untuk membersihkan diri. Yang ada, kita hanya bisa menunggu aksi penyelidikan, penyidikan, dan penangkapan yang dilakukan oleh KPK.
Fakta ini terungkap lewat konferensi pers peluncuran Indeks Persepsi Korupsi dari Transparency International Indonesia yang berlangsung Selasa (3/12) di Jakarta.
Dalam Indeks Persepsi Korupsi yang diluncurkan tahun ini, Indonesia menempati urutan 114 dari 177 negara. Tahun lalu, Indonesia ada di urutan 118 dari 176 negara yang disurvei. Meski naik secara peringkat, skor Indonesia masih stagnan di 32. Skalanya 0 adalah yang terburuk dan 100 adalah yang terbersih.
Menurut Sekretaris Jenderal Transparency International (TI) Indonesia Dadang Trisasongko, ada tiga pilar utama penyumbang buruknya skor persepsi korupsi di Indonesia, yaitu dari ranah hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan), bisnis (proses birokrasi perizinan, pajak, bea cukai), dan yang ketiga dari ranah politik (parpol, parlemen, dan politisi).
Jika perbaikan birokrasi di sektor hukum dan bisnis bisa dilakukan lewat sebuah masterplan bernama Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK), maka status DPR sebagai badan legislatif yang lepas dari kekuasaan eksekutif, menyulitkan pengawasan.
"Risiko pelanggaran integritas terbesar ada di ranah politik. Siapa yang harus mengawasi parlemen dan politisi? Apakah Presiden? Presiden saja kesulitan masuk ke partainya sendiri, apalagi harus mengawasi partai lain," kata Dadang.
Isu korupsi di ranah politik ini menjadi sangat penting menjelang 2014, tahun Pemilu. Tak ada batasan berapa besar sumbangan yang bisa diberikan ke partai politik. Tak jelas juga siapa yang menyumbang dan dari mana asal uang tersebut. Bagaimana aliran dana kampanye atau integritas calon legislatif bisa diawasi jika tidak ada keterbukaan dari partai politik?
Sebagai gambaran, Dadang menceritakan tanggapan yang diterima TI Indonesia saat harus mengaudit keuangan partai-partai politik di Indonesia. "Memang hasilnya tidak bagus, tapi lebih bagus daripada menolak diaudit," katanya. Beberapa partai yang menolak diaudit keuangannya adalah Partai Demokrat, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Transaksi politik 2014
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto bilang, "Indeks stagnan bukan berarti upayanya (memberantas korupsi) juga stagnan." Indeks Persepsi Korupsi ini, menurut Bambang, "Jangan dianggap yang paling penting sehingga yang lain-lain jadi tidak bermakna."
Responden Indeks Persepsi Korupsi adalah pebisnis dan pakar. Maka, "Jika kita ingin skor naik cepat, sektor-sektor yang bersinggungan dengan pebisnislah yang harus diperbaiki," katanya.
Namun ada upaya-upaya lain dalam pembenahan integritas birokrat dan penegak hukum yang mungkin tak terbaca oleh Indeks ini. Contohnya, KPK kini tengah mengembangkan mekanisme uji integritas sendiri untuk memetakan persepsi tentang penegak hukum. Ada juga indeks yang memetakan peningkatan pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan dari APBD-nya. Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Bappenas juga punya program Strategi Nasional Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi. "Apakah upaya-upaya yang kami lakukan ini kompatibel dengan yang dinilai oleh Transparency International? Jangan-jangan itu semua nggak diukur," ujar Bambang.
Bambang juga mengingatkan, ada transaksi-transaksi yang sudah terjadi sekarang untuk membiayai tahun politik 2014. "Ada proses korupsi yang sedang bekerja yang luar biasa masifnya. Lalu bagaimana kita meletakkan angka Indeks Persepsi Korupsi di tengah proses itu? Ada angka-angka lain yang kini bekerja lebih konkret dari Indeks Persepsi Korupsi."
Menurut Bambang, ada pola-pola sejarah yang selalu berulang pada tahun sebelum berlangsungnya Pemilu dengan penyelewengan dana di sektor perbankan. Ia menyebut BLBI yang terjadi pada 1998, lalu 2004 dengan kasus-kasus kredit di sektor bank seperti BNI dan Maria Pauline Lumowa, dan 2008 dengan Century. KPK, menurut Bambang, juga sudah melihat adanya indikasi kejadian serupa di sektor perbankan akan terulang untuk biaya politik pada 2014 nanti. "Tapi kalau diungkap sekarang, akan tertutup ini angka Indeks Persepsi Korupsi," katanya.
Sebagai antisipasi, KPK sudah mempelajari proses bisnis dari A-Z pada subsidi pupuk, impor daging sapi, dan di sektor pendidikan untuk melihat di mana ada potensi penyalahgunaan wewenang untuk melakukan korupsi. Salah satu hasilnya adalah terbongkarnya kasus impor daging sapi yang melibatkan (bekas) petinggi Partai Keadilan Sejahtera.
Bukan hanya sapi, kata Bambang, "Bagaimana subsidi pupuk dimainkan untuk biaya politik Pemilu 2014 nanti, kami sudah tahu." Tampaknya apa yang ia ungkapkan hanyalah satu dari banyak cara yang akan dipakai politisi dan parpol untuk membiayai ambisi kekuasaan mereka. (ant/bm 10)
BAHWA parlemen, politisi, dan partai politik jadi pelaku besar (jika bukan terbesar) korupsi di Indonesia mungkin sudah jadi pengetahuan awam. Yang mengherankan, belum ada upaya signifikan dalam mencegah praktik korupsi yang terjadi di ranah politik tersebut. Kelompok ini seperti tak terjangkau di tengah hiruk-pikuk upaya pembenahan integritas memberantas korupsi yang sedang terjadi.
Sampai sejauh ini tak ada mekanisme jelas yang bisa memaksa parlemen, politisi, dan parpol untuk membersihkan diri. Yang ada, kita hanya bisa menunggu aksi penyelidikan, penyidikan, dan penangkapan yang dilakukan oleh KPK.
Fakta ini terungkap lewat konferensi pers peluncuran Indeks Persepsi Korupsi dari Transparency International Indonesia yang berlangsung Selasa (3/12) di Jakarta.
Dalam Indeks Persepsi Korupsi yang diluncurkan tahun ini, Indonesia menempati urutan 114 dari 177 negara. Tahun lalu, Indonesia ada di urutan 118 dari 176 negara yang disurvei. Meski naik secara peringkat, skor Indonesia masih stagnan di 32. Skalanya 0 adalah yang terburuk dan 100 adalah yang terbersih.
Menurut Sekretaris Jenderal Transparency International (TI) Indonesia Dadang Trisasongko, ada tiga pilar utama penyumbang buruknya skor persepsi korupsi di Indonesia, yaitu dari ranah hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan), bisnis (proses birokrasi perizinan, pajak, bea cukai), dan yang ketiga dari ranah politik (parpol, parlemen, dan politisi).
Jika perbaikan birokrasi di sektor hukum dan bisnis bisa dilakukan lewat sebuah masterplan bernama Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK), maka status DPR sebagai badan legislatif yang lepas dari kekuasaan eksekutif, menyulitkan pengawasan.
"Risiko pelanggaran integritas terbesar ada di ranah politik. Siapa yang harus mengawasi parlemen dan politisi? Apakah Presiden? Presiden saja kesulitan masuk ke partainya sendiri, apalagi harus mengawasi partai lain," kata Dadang.
Isu korupsi di ranah politik ini menjadi sangat penting menjelang 2014, tahun Pemilu. Tak ada batasan berapa besar sumbangan yang bisa diberikan ke partai politik. Tak jelas juga siapa yang menyumbang dan dari mana asal uang tersebut. Bagaimana aliran dana kampanye atau integritas calon legislatif bisa diawasi jika tidak ada keterbukaan dari partai politik?
Sebagai gambaran, Dadang menceritakan tanggapan yang diterima TI Indonesia saat harus mengaudit keuangan partai-partai politik di Indonesia. "Memang hasilnya tidak bagus, tapi lebih bagus daripada menolak diaudit," katanya. Beberapa partai yang menolak diaudit keuangannya adalah Partai Demokrat, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Transaksi politik 2014
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto bilang, "Indeks stagnan bukan berarti upayanya (memberantas korupsi) juga stagnan." Indeks Persepsi Korupsi ini, menurut Bambang, "Jangan dianggap yang paling penting sehingga yang lain-lain jadi tidak bermakna."
Responden Indeks Persepsi Korupsi adalah pebisnis dan pakar. Maka, "Jika kita ingin skor naik cepat, sektor-sektor yang bersinggungan dengan pebisnislah yang harus diperbaiki," katanya.
Namun ada upaya-upaya lain dalam pembenahan integritas birokrat dan penegak hukum yang mungkin tak terbaca oleh Indeks ini. Contohnya, KPK kini tengah mengembangkan mekanisme uji integritas sendiri untuk memetakan persepsi tentang penegak hukum. Ada juga indeks yang memetakan peningkatan pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan dari APBD-nya. Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Bappenas juga punya program Strategi Nasional Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi. "Apakah upaya-upaya yang kami lakukan ini kompatibel dengan yang dinilai oleh Transparency International? Jangan-jangan itu semua nggak diukur," ujar Bambang.
Bambang juga mengingatkan, ada transaksi-transaksi yang sudah terjadi sekarang untuk membiayai tahun politik 2014. "Ada proses korupsi yang sedang bekerja yang luar biasa masifnya. Lalu bagaimana kita meletakkan angka Indeks Persepsi Korupsi di tengah proses itu? Ada angka-angka lain yang kini bekerja lebih konkret dari Indeks Persepsi Korupsi."
Menurut Bambang, ada pola-pola sejarah yang selalu berulang pada tahun sebelum berlangsungnya Pemilu dengan penyelewengan dana di sektor perbankan. Ia menyebut BLBI yang terjadi pada 1998, lalu 2004 dengan kasus-kasus kredit di sektor bank seperti BNI dan Maria Pauline Lumowa, dan 2008 dengan Century. KPK, menurut Bambang, juga sudah melihat adanya indikasi kejadian serupa di sektor perbankan akan terulang untuk biaya politik pada 2014 nanti. "Tapi kalau diungkap sekarang, akan tertutup ini angka Indeks Persepsi Korupsi," katanya.
Sebagai antisipasi, KPK sudah mempelajari proses bisnis dari A-Z pada subsidi pupuk, impor daging sapi, dan di sektor pendidikan untuk melihat di mana ada potensi penyalahgunaan wewenang untuk melakukan korupsi. Salah satu hasilnya adalah terbongkarnya kasus impor daging sapi yang melibatkan (bekas) petinggi Partai Keadilan Sejahtera.
Bukan hanya sapi, kata Bambang, "Bagaimana subsidi pupuk dimainkan untuk biaya politik Pemilu 2014 nanti, kami sudah tahu." Tampaknya apa yang ia ungkapkan hanyalah satu dari banyak cara yang akan dipakai politisi dan parpol untuk membiayai ambisi kekuasaan mereka. (ant/bm 10)