Sanaa - Sembilan tersangka anggota Al Qaida diadili di Yaman, Minggu, atas tuduhan berencana membunuh Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi, perwira-perwira keamanan dan militer, serta menculik warga asing, kata Kantor Berita Saba.
Persidangan itu merupakan kelanjutan dari proses hukum sebelumnya yang berakhir September dimana tiga anggota jaringan itu dinyatakan bersalah atas tuduhan serupa.
Sebuah dokumen pengadilan mengatakan, enam anggota kelompok itu, termasuk tersangka utama yang masih buron, memasang bom tahun ini di sebuah jalan yang digunakan oleh Hadi dalam perjalanan ke kantornya di instana presiden.
Niat para militan itu adalah meledakkan bom tersebut dari jarak jauh dan membunuhnya, kata Saba, namun peledak itu ditemukan dan dijinakkan oleh pasukan keamanan.
Rencana pemboman itu merupakan salah satu dari sejumlah upaya serangan terhadap Hadi, yang terpilih pada Februari 2012 setelah pendahulunya, Ali Abdullah Saleh, mengundurkan diri, sebagai bagian dari perjanjian alih kekuasaan dukungan AS yang mengakhiri protes berbulan-bulan menentang kekuasaannya yang telah berlangsung tiga dasawarsa.
Pada persidangan September, pengadilan di Sanaa menyatakan tiga tersangka anggota Al Qaida bersalah karena berencana membunuh Hadi dan memvonis mereka masing-masing hukuman satu, lima dan tujuh tahun penjara.
Militan Al Qaida memperkuat keberadaan mereka di Yaman, dengan memanfaatkan melemahnya pemerintah pusat akibat pemberontakan anti-pemerintah yang meletus pada Januari 2011 yang akhirnya melengserkan Presiden Ali Abdullah Saleh.
Ofensif pasukan Yaman yang diluncurkan pada Mei 2011 berhasil menghalau militan Al Qaida dari sejumlah kota dan desa di wilayah selatan dan timur yang selama lebih dari setahun mereka kuasai.
Meski melemah, jaringan teror itu masih bisa melancarkan serangan-serangan terhadap sasaran militer dan polisi.
Yaman adalah negara leluhur almarhum pemimpin Al Qaida Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.
Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.
Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al Qaida di Semenanjung Arab (AQAP).
AS ingin presiden baru Yaman, yang berkuasa setelah protes terhadap pendahulunya membuat militer negara itu terpecah menjadi kelompok-kelompok yang bertikai, menyatukan angkatan bersenjata dan menggunakan mereka untuk memerangi kelompok militan itu.
Militan melancarkan gelombang serangan sejak mantan Presiden Ali Abdullah Saleh pada Februari 2012 menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, Abd-Rabbu Mansour Hadi, yang telah berjanji menumpas Al Qaida. (ant/bm 10)
Persidangan itu merupakan kelanjutan dari proses hukum sebelumnya yang berakhir September dimana tiga anggota jaringan itu dinyatakan bersalah atas tuduhan serupa.
Sebuah dokumen pengadilan mengatakan, enam anggota kelompok itu, termasuk tersangka utama yang masih buron, memasang bom tahun ini di sebuah jalan yang digunakan oleh Hadi dalam perjalanan ke kantornya di instana presiden.
Niat para militan itu adalah meledakkan bom tersebut dari jarak jauh dan membunuhnya, kata Saba, namun peledak itu ditemukan dan dijinakkan oleh pasukan keamanan.
Rencana pemboman itu merupakan salah satu dari sejumlah upaya serangan terhadap Hadi, yang terpilih pada Februari 2012 setelah pendahulunya, Ali Abdullah Saleh, mengundurkan diri, sebagai bagian dari perjanjian alih kekuasaan dukungan AS yang mengakhiri protes berbulan-bulan menentang kekuasaannya yang telah berlangsung tiga dasawarsa.
Pada persidangan September, pengadilan di Sanaa menyatakan tiga tersangka anggota Al Qaida bersalah karena berencana membunuh Hadi dan memvonis mereka masing-masing hukuman satu, lima dan tujuh tahun penjara.
Militan Al Qaida memperkuat keberadaan mereka di Yaman, dengan memanfaatkan melemahnya pemerintah pusat akibat pemberontakan anti-pemerintah yang meletus pada Januari 2011 yang akhirnya melengserkan Presiden Ali Abdullah Saleh.
Ofensif pasukan Yaman yang diluncurkan pada Mei 2011 berhasil menghalau militan Al Qaida dari sejumlah kota dan desa di wilayah selatan dan timur yang selama lebih dari setahun mereka kuasai.
Meski melemah, jaringan teror itu masih bisa melancarkan serangan-serangan terhadap sasaran militer dan polisi.
Yaman adalah negara leluhur almarhum pemimpin Al Qaida Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.
Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.
Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al Qaida di Semenanjung Arab (AQAP).
AS ingin presiden baru Yaman, yang berkuasa setelah protes terhadap pendahulunya membuat militer negara itu terpecah menjadi kelompok-kelompok yang bertikai, menyatukan angkatan bersenjata dan menggunakan mereka untuk memerangi kelompok militan itu.
Militan melancarkan gelombang serangan sejak mantan Presiden Ali Abdullah Saleh pada Februari 2012 menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, Abd-Rabbu Mansour Hadi, yang telah berjanji menumpas Al Qaida. (ant/bm 10)