Depok - Komisi Penanggulangan AIDS Kota (KPAK) Depok terus memantau jumlah penderita HIV/AIDS. Sejak Januari hingga Mei 2013, mereka mencatat ada 20 kasus baru HIV/AIDS di Kota Depok, dan jumlah itu naik menjadi 36 kasus pada September 2013.
Kasus ini menambah daftar penderita HIV/AIDS di Depok menjadi 188 orang dengan rasio empat kasus per bulannya. (Baca: Pengidap HIV/AIDS Depok Naik 10 Persen per Tahun)
"Kami berharap tambahan kasus itu menunjukkan adanya surveillance yang lebih baik sehingga penderita HIV/AIDS dapat diidentifikasi lebih dini," kata Sekretaris KPAK Kota Depok, Herry Kuntowo, Rabu, 2 Oktober 2013.
Herry mengatakan, data yang mereka miliki merupakan kumpulan dari data kasus yang ditemukan para aktivis NGO HIV/AIDS. Selain itu, mereka mencari data pasien baru di setiap puskesmas dan rumah sakit umum daerah.
Herry meminta adanya surveillance penderita HIV/AIDS yang lebih masif dilakukan hingga ke tingkat rukun tetangga. Hal itu penting agar pencegahan penularan bisa dilakukan lebih baik.
Menurut Herry, penanggulangan orang dengan HIV/AIDS di Depok hingga tahun lalu berlangsung buruk karena ketiadaan organisasi yang menanganinya. Akibatnya, banyak pasien dengan HIV/AIDS telantar, dan banyak di antaranya memilih berobat ke rumah sakit di Jakarta untuk mendapatkan perawatan lebih baik.
"Komisi Penanggulangan AIDS di kota ini baru terbentuk Januari 2013 lalu setelah lama vakum, tapi sekarang sudah menunjukkan koordinasi yang lebih baik," kata Herry.
Dalam catatan KPAK, 62 persen penularan HIV/AIDS di Depok terjadi akibat hubungan seksual. Tidak adanya lokalisasi membuat praktek prostitusi tersebar dan cenderung sulit dikendalikan. Sementara pengetahuan masyarakat Depok akan penyakit HIV/AIDS sangat minim sehingga kurang mengetahui cara penularan penyakit tersebut. "Karena itu, mereka perlu pendampingan," katanya.
Salah seorang aktivis NGO Kuldesak, Radiaz Hages Triandha, mengatakan masalah klasik yang dihadapi penderita adalah minimnya akses kesehatan. Jaminan Kesehatan Daerah Kota Depok sendiri tak bersedia meng-cover biaya kesehatan bagi para pengidap HIV/AIDS.
"HIV/AIDS masih dianggap penyakit akibat gaya hidup, sementara kebanyakan yang tertular itu golongan ekonomi menengah ke bawah," katanya. Radiaz sendiri saat ini sedang mendampingi 45 penderita HIV/AIDS.
Aktivis NGO Stigma, Irwansyah, menyatakan penderita HIV/AIDS dari injection drug users justru mempermasalahkan pelayanan khusus bagi penyakit yang masih menjadi aib itu. Para penderita mengeluhkan tidak adanya jalur rujukan yang jelas agar mereka bisa dilayani pusat kesehatan dan rumah sakit pemerintah. "Minimal waktu mereka datang, mereka tahu harus ke loket yang mana, masuknya ke mana," katanya.
Irwansyah berharap keberadaan KPAK Depok menghadirkan solusi bagi para penderita HIV/AIDS di Depok. Sebab, kata Irwansyah, belum adanya jalur pengobatan khusus itu membuat kebanyakan penderita bingung harus berobat atau tidak. "KPAK harus memperhatikan ini," katanya. (Sumber: Tempo.co)
Kasus ini menambah daftar penderita HIV/AIDS di Depok menjadi 188 orang dengan rasio empat kasus per bulannya. (Baca: Pengidap HIV/AIDS Depok Naik 10 Persen per Tahun)
"Kami berharap tambahan kasus itu menunjukkan adanya surveillance yang lebih baik sehingga penderita HIV/AIDS dapat diidentifikasi lebih dini," kata Sekretaris KPAK Kota Depok, Herry Kuntowo, Rabu, 2 Oktober 2013.
Herry mengatakan, data yang mereka miliki merupakan kumpulan dari data kasus yang ditemukan para aktivis NGO HIV/AIDS. Selain itu, mereka mencari data pasien baru di setiap puskesmas dan rumah sakit umum daerah.
Herry meminta adanya surveillance penderita HIV/AIDS yang lebih masif dilakukan hingga ke tingkat rukun tetangga. Hal itu penting agar pencegahan penularan bisa dilakukan lebih baik.
Menurut Herry, penanggulangan orang dengan HIV/AIDS di Depok hingga tahun lalu berlangsung buruk karena ketiadaan organisasi yang menanganinya. Akibatnya, banyak pasien dengan HIV/AIDS telantar, dan banyak di antaranya memilih berobat ke rumah sakit di Jakarta untuk mendapatkan perawatan lebih baik.
"Komisi Penanggulangan AIDS di kota ini baru terbentuk Januari 2013 lalu setelah lama vakum, tapi sekarang sudah menunjukkan koordinasi yang lebih baik," kata Herry.
Dalam catatan KPAK, 62 persen penularan HIV/AIDS di Depok terjadi akibat hubungan seksual. Tidak adanya lokalisasi membuat praktek prostitusi tersebar dan cenderung sulit dikendalikan. Sementara pengetahuan masyarakat Depok akan penyakit HIV/AIDS sangat minim sehingga kurang mengetahui cara penularan penyakit tersebut. "Karena itu, mereka perlu pendampingan," katanya.
Salah seorang aktivis NGO Kuldesak, Radiaz Hages Triandha, mengatakan masalah klasik yang dihadapi penderita adalah minimnya akses kesehatan. Jaminan Kesehatan Daerah Kota Depok sendiri tak bersedia meng-cover biaya kesehatan bagi para pengidap HIV/AIDS.
"HIV/AIDS masih dianggap penyakit akibat gaya hidup, sementara kebanyakan yang tertular itu golongan ekonomi menengah ke bawah," katanya. Radiaz sendiri saat ini sedang mendampingi 45 penderita HIV/AIDS.
Aktivis NGO Stigma, Irwansyah, menyatakan penderita HIV/AIDS dari injection drug users justru mempermasalahkan pelayanan khusus bagi penyakit yang masih menjadi aib itu. Para penderita mengeluhkan tidak adanya jalur rujukan yang jelas agar mereka bisa dilayani pusat kesehatan dan rumah sakit pemerintah. "Minimal waktu mereka datang, mereka tahu harus ke loket yang mana, masuknya ke mana," katanya.
Irwansyah berharap keberadaan KPAK Depok menghadirkan solusi bagi para penderita HIV/AIDS di Depok. Sebab, kata Irwansyah, belum adanya jalur pengobatan khusus itu membuat kebanyakan penderita bingung harus berobat atau tidak. "KPAK harus memperhatikan ini," katanya. (Sumber: Tempo.co)