Menurut IBA, rekaman pelanggaran hak asasi manusia --yang dibagikan ke media sosial pada beberapa tahun belakangan-- kebanyakan adalah bukti palsu dan tidak dapat diverifikasi sehingga sulit dipakai di pengadilan.
Namun, dengan aplikasi "EyeWitness to Atrocities", semua foto dan video akan diberi tanda tempat, waktu, dan jaringan Wi-Fi terdekat, yang tidak dapat diubah atau dimanipulasi. Data tersebut kemudian dikirim ke pusat pengumpulan data, yang dipantau pakar hukum.
"Aplikasi itu dapat mengubah tatanan keadilan internasional dan hak asasi manusia, juga menyediakan solusi bagi warga, yang sulit menjadikan foto dan video telepon pintar sebagai bukti," kata direktur eksekutif IBA, Mark Ellis.
"Aplikasi ini juga memungkinkan awak media untuk menggunakan gambar dan video telepon pintar tanpa keraguan soal otentisitas," kata Ellis kepada kantor berita Thomson Reuters Foundation.
Aplikasi "EyeWitness to Atrocities" dikembangkan tidak lama setelah munculnya kontroversi terkait penyiaran video telepon pintar oleh stasiun televisi Inggris Channel 4 pada 2011 lalu yang menunjukkan pembunuhan tahanan Tamil oleh sekelompok tentara Sri Lanka.
Pemerintah Sri Lanka pada saat itu membantah keaslian video tersebut dan menyebutnya sebagai palsu. Mereka kemudian merilis video sendiri dan menyatakan bahwa para pembunuh merupakan gerilyawan Tamil yang memakai seragam tentara.
Channel 4 sendiri balik membantah pernyataan pemerintah Sri Lanka dan menyatakan bahwa video yang mereka gunakan sudah terlebih dahulu diperiksa secara teliti.
Kontroversi lain juga muncul pada November tahun lalu terkait bukti video warga. Jutaan pemirsa YouTube tertipu oleh video berjudul "pahlawan muda Suriah" yang berani menerobos hujan peluru demi menyelamatkan seorang gadis yang tengah bersembunyi di dalam mobil.
Video tersebut ternyata diproduksi di Malta oleh seorang sutradara asal Norwegia dengan menggunakan sejumlah aktor. Dia sengaja menyebut karyanya sebagai "nyata" untuk menunjukkan nasib anak di medan perang.
"Sebelumnya, sangat sulit bagi kita untuk memverifikasi otentisitas gambar foto ataupun melindungi mereka yang berani untuk merekam kejadian pelanggaran hak asasi manusia," kata Ellis.
Terkait perlindungan saksi, aplikasi "EyeWitness to Atrocities" memungkinkan pengguna untuk mengirim bukti yang dia rekam dalam bentuk anonim tanpa harus kehilangan otentisitas.
IBA sendiri tengah bekerja sama dengan sejumlah kelompok pembela hak asasi manusia di Suriah, Irak, dan Ukraina demi memastikan bahwa aplikasi yang mereka kembangkan dapat digunakan para warga. (ant/bm 01)
0 Komentar