Manado - Gubernur Sulawesi Utara (Sulut), DR. Sinyo Harry Sarundajang berbagi pengalaman penanganan konflik horisontal dalam suatu diskusi lintas agama di gedung KH. Yusuf Hasyim Ponpes Tebuireng Jombang, Jawa Timur (Jatim).
Kabag Humas Pempov Sulut, Judhistira Siwu di Manado, Selasa mengatakan, diskusi tersebut berlangsung Minggu (29/9) dihadiri K.H. Salahudin Wahid selaku pemimpin Pondok Pesanteren Tebuireng Jombang, Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Prof.DR. Imam Suprayogo, DR. H. Mohammad Atamimi.
Diskusi tersebut juga dihadiri ratusan santri dari pondok pesantren Tebuireng, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Jombang serta masyarakat umum.
Pada kesempataan diskusi itu, kata Judhistira, Gubernur Sarundajang berbagi pengalaman ketika ditugaskan pemerintah pusat menjadi pejabat Gubernur Maluku Utara dan pejabat Gubernur Maluku sebagai 'juru damai' saat terjadi konflik horisontal di kedua daerah tersebut.
Sarundajang mengurai tentang langkah-langkah yang ditempuhnya dalam menunaikan tugas penuh resiko tersebut.
"Apa yang saya buat di daerah-daerah bertikai itu adalah amanah dari Allah SWT, dan saya percaya tidak ada agama apapun yang mengajarkan untuk saling membunuh, dan berkeyakinan pada waktu itu bahwa menjalankan amanah itu tidak dapat diselesaikan dengan senjata.
Oleh karena itu apa yang saya lakukan hanya dengan dialog dan merangkul pihak-pihak yang bertikai dengan pendekatan hati nurani, tukas Sarundajang.
Selanjutnya, DR. H. Mohhammad Atamimi pada waktu itu Panglima laskar jihad di Ambon mengungkap tentang langkah Sarundajang selaku penjabat Gubernur dan penguasa darurat sipil di Maluku dapat menyelesaikan pertikaian dengan 'lidah dan hati'.
"Pendekatan Sarundajang adalah dengan menciptakan dialog dan hati nurani. Itulah yang mendamaikan kami", jelas Atamimi saat ini menjabat Direktur Wakaf Kementerian Agama RI.
Sementara itu, Gus Solah panggilan akrab K.H. Salahudin Wahid ketika membuka diskusi tersebut, mengatakan apa yang dilakukan Sarundajang pada saat itu bisa dijadikan 'role case' (contoh kasus) dalam bagaimana strategi meredam konflik dan bagaimana memimpin masyarakat yang majemuk.
Adik Kandung Presiden ke-4 RI KH. Andurrahman Wahid itu juga mengungkapkan kegembiraannya dan menyambut dengan hangat kehadiran Sarundajang dalam diskusi tersebut.
"Bangsa kita terbentuk dengan latar belakang berbagai perbedaan, termasuk juga perbedaan agama, tapi perbedaan tersebut harus dilihat sebagai kekayaan yang dimiliki bangsa ini dan tidak dimiliki bangsa lain. Kita harus menerima itu dan hidup dalam kondisi damai dan rukun. Itulah juga yang diajarkan para pendiri NU sejak dahulu kala, "tukas Gus Solah.
Menurut Gus Solah apa yang dilakukan Sarundajang di Maluku dan Maluku Utara pada waktu itu adalah suatu pekerjaan mulia dan patut dicontohi calon-calon pemimpin dimasa mendatang.
Gus Solah mengatakan soal diikutsertakannya Sarundajang sebagai peserta konvensi Calon Presiden RI 2014-2019 Partai Demokrat, memberikan tanda-tanda positif terhadap kehidupan keberagaman dan kemajemukan di negara ini yang dimulai dari proses melahirkan kepemimpinan nasional.
Sementara itu, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Prof. DR. Imam Suprayogo menjelaskan alasan kenapa sampai pihak UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa (HC) kepada Sarundajang yang notabene orang pertama non-muslim yang diberi gelar oleh institusi tersebut.
"Kami memberi gelar ini bagi orang yang berprestasi mendamaikan dua daerah kerusuhan itu. Prestasi itu luar biasa dan kami nilai layak dianugerahkan gelar ini agama apapun beliau, "terang Imam.
Diakhir diskusi itu, Sarundajang menerima cinderamata buku tentang Pondok Pesantren Tebuireng yang diserahkan Gus Solah. Sarundajang membalas dengan memberikan sumbangan pribadi dalam bentuk buku-buku untuk kebutuhan belajar para santri di pondok pesantren tersebut.
Didaerah tersebut Gubernur Sarundajang juga melakukan ziarah ke makam Gus Dur dan pendiri pondok pesantren tersebut lokasinya terletak dalam kompleks pondok pesantren. (ant/bm 10)
Kabag Humas Pempov Sulut, Judhistira Siwu di Manado, Selasa mengatakan, diskusi tersebut berlangsung Minggu (29/9) dihadiri K.H. Salahudin Wahid selaku pemimpin Pondok Pesanteren Tebuireng Jombang, Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Prof.DR. Imam Suprayogo, DR. H. Mohammad Atamimi.
Diskusi tersebut juga dihadiri ratusan santri dari pondok pesantren Tebuireng, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Jombang serta masyarakat umum.
Pada kesempataan diskusi itu, kata Judhistira, Gubernur Sarundajang berbagi pengalaman ketika ditugaskan pemerintah pusat menjadi pejabat Gubernur Maluku Utara dan pejabat Gubernur Maluku sebagai 'juru damai' saat terjadi konflik horisontal di kedua daerah tersebut.
Sarundajang mengurai tentang langkah-langkah yang ditempuhnya dalam menunaikan tugas penuh resiko tersebut.
"Apa yang saya buat di daerah-daerah bertikai itu adalah amanah dari Allah SWT, dan saya percaya tidak ada agama apapun yang mengajarkan untuk saling membunuh, dan berkeyakinan pada waktu itu bahwa menjalankan amanah itu tidak dapat diselesaikan dengan senjata.
Oleh karena itu apa yang saya lakukan hanya dengan dialog dan merangkul pihak-pihak yang bertikai dengan pendekatan hati nurani, tukas Sarundajang.
Selanjutnya, DR. H. Mohhammad Atamimi pada waktu itu Panglima laskar jihad di Ambon mengungkap tentang langkah Sarundajang selaku penjabat Gubernur dan penguasa darurat sipil di Maluku dapat menyelesaikan pertikaian dengan 'lidah dan hati'.
"Pendekatan Sarundajang adalah dengan menciptakan dialog dan hati nurani. Itulah yang mendamaikan kami", jelas Atamimi saat ini menjabat Direktur Wakaf Kementerian Agama RI.
Sementara itu, Gus Solah panggilan akrab K.H. Salahudin Wahid ketika membuka diskusi tersebut, mengatakan apa yang dilakukan Sarundajang pada saat itu bisa dijadikan 'role case' (contoh kasus) dalam bagaimana strategi meredam konflik dan bagaimana memimpin masyarakat yang majemuk.
Adik Kandung Presiden ke-4 RI KH. Andurrahman Wahid itu juga mengungkapkan kegembiraannya dan menyambut dengan hangat kehadiran Sarundajang dalam diskusi tersebut.
"Bangsa kita terbentuk dengan latar belakang berbagai perbedaan, termasuk juga perbedaan agama, tapi perbedaan tersebut harus dilihat sebagai kekayaan yang dimiliki bangsa ini dan tidak dimiliki bangsa lain. Kita harus menerima itu dan hidup dalam kondisi damai dan rukun. Itulah juga yang diajarkan para pendiri NU sejak dahulu kala, "tukas Gus Solah.
Menurut Gus Solah apa yang dilakukan Sarundajang di Maluku dan Maluku Utara pada waktu itu adalah suatu pekerjaan mulia dan patut dicontohi calon-calon pemimpin dimasa mendatang.
Gus Solah mengatakan soal diikutsertakannya Sarundajang sebagai peserta konvensi Calon Presiden RI 2014-2019 Partai Demokrat, memberikan tanda-tanda positif terhadap kehidupan keberagaman dan kemajemukan di negara ini yang dimulai dari proses melahirkan kepemimpinan nasional.
Sementara itu, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Prof. DR. Imam Suprayogo menjelaskan alasan kenapa sampai pihak UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa (HC) kepada Sarundajang yang notabene orang pertama non-muslim yang diberi gelar oleh institusi tersebut.
"Kami memberi gelar ini bagi orang yang berprestasi mendamaikan dua daerah kerusuhan itu. Prestasi itu luar biasa dan kami nilai layak dianugerahkan gelar ini agama apapun beliau, "terang Imam.
Diakhir diskusi itu, Sarundajang menerima cinderamata buku tentang Pondok Pesantren Tebuireng yang diserahkan Gus Solah. Sarundajang membalas dengan memberikan sumbangan pribadi dalam bentuk buku-buku untuk kebutuhan belajar para santri di pondok pesantren tersebut.
Didaerah tersebut Gubernur Sarundajang juga melakukan ziarah ke makam Gus Dur dan pendiri pondok pesantren tersebut lokasinya terletak dalam kompleks pondok pesantren. (ant/bm 10)