Kolombo - India hari Rabu mendesak Sri Lanka berbagi kekuasaan dengan minoritas etnik Tamil setelah kemenangan mereka dalam pemilihan umum daerah, agar tercapai rekonsiliasi murni setelah perang puluhan tahun.
Aliansi oposisi Tamil mencapai kemenangan pada akhir pekan dalam pemilu pertama dewan daerah di bekas wilayah perang di Sri Lanka utara.
Pemilu itu disambut baik oleh masyarakat internasional sebagai langkah awal ke arah rekonsiliasi antara mayoritas Sinhala dan minoritas Tamil setelah perang.
Namun, pemerintah Presiden Mahinda Rajapakse menyatakan akan mengurangi wewenang dewan, termasuk masalah tanah dan pengamanan, yang menyulut kekhawatiran mengenai apakah aliansi itu akan memiliki wewenang nyata di kawasan tersebut.
India mendesak pemerintah Rajapakse dan Aliansi Nasional Tamil (TNA) bekerja sama secara konstruktif untuk memenuhi kebutuhan penduduk di wilayah tersebut, setelah berakhirnya konflik separatis yang menewaskan lebih dari 100.000 orang.
"Hanya pendekatan kooperatif semacam itu bisa membuka jalan bagi rekonsiliasi murni antara komunitas-komunitas yang terlibat," kata pemerintah New Delhi dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Komisi Tinggi (Kedutaan Besar) India.
TNA menuntut militer ditarik dari kawasan itu, dengan mengatakan tidak perlu prajurit digelar setelah perang berakhir pada 2009.
Koalisi Rajapakse menentang konsesi politik bagi Tamil dan mengatakan, kemenangan mereka akan mengarah pada kekacauan baru.
New Delhi mendesak Kolombo melaksanakan sepenuhnya amandemen konstitusi 1987 yang menetapkan otonomi daerah bagi Tamil, yang mendominasi bekas zona perang namun merupakan minoritas di Sri Lanka.
Menurut New Delhi, seluruh masyarakat adalah pemangku kepentingan yang setara di Sri Lanka yang bersatu dan bisa mengharapkan masa depan yang ditandai dengan kesetaraan, keadilan, martabat dan harga diri.
Tamil Sri Lanka memiliki hubungan budaya dan agama yang erat dengan jutaan warga Tamil di negara bagian Tamil Nadu, India selatan.
Pasukan Sri Lanka meluncurkan ofensif besar-besaran untuk menumpas kelompok pemberontak Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE) pada 2009 yang mengakhiri perang etnik hampir empat dasawarsa di negara tersebut.
Namun, kemenangan pasukan Sri Lanka atas LTTE menyulut tuduhan-tuduhan luas mengenai pelanggaran hak asasi manusia.
Pada September 2011, Amnesti Internasional yang berkantor di London mengutip keterangan saksi mata dan pekerja bantuan yang mengatakan, sedikitnya 10.000 orang sipil tewas dalam tahap final ofensif militer terhadap gerilyawan Macan Tamil pada Mei 2009.
Pada April 2011, laporan panel yang dibentuk Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon mencatat tuduhan-tuduhan kejahatan perang yang dilakukan kedua pihak.
Sri Lanka mengecam laporan komisi PBB itu sebagai "tidak masuk akal" dan mengatakan, laporan itu berat sebelah dan bergantung pada bukti subyektif dari sumber tanpa nama.
Sri Lanka menolak seruan internasional bagi penyelidikan kejahatan perang dan menekankan bahwa tidak ada warga sipil yang menjadi sasaran pasukan pemerintah. Namun, kelompok-kelompok HAM menyatakan, lebih dari 40.000 warga sipil mungkin tewas akibat aksi kedua pihak yang berperang.
PBB memperkirakan, lebih dari 100.000 orang tewas dalam konflik separatis Tamil setelah pemberontak Macan Tamil muncul pada 1972.
Sekitar 15.000 pemberontak Tamil memerangi pemerintah Sri Lanka dalam konflik etnik itu dalam upaya mendirikan sebuah negara Tamil merdeka.
Masyarakat Tamil mencapai sekitar 18 persen dari penduduk Sri Lanka yang berjumlah 19,2 juta orang dan mereka terpusat di provinsi-provinsi utara dan timur yang dikuasai pemberontak. Mayoritas penduduk Sri Lanka adalah warga Sinhala. (ant/bm 10)
Aliansi oposisi Tamil mencapai kemenangan pada akhir pekan dalam pemilu pertama dewan daerah di bekas wilayah perang di Sri Lanka utara.
Pemilu itu disambut baik oleh masyarakat internasional sebagai langkah awal ke arah rekonsiliasi antara mayoritas Sinhala dan minoritas Tamil setelah perang.
Namun, pemerintah Presiden Mahinda Rajapakse menyatakan akan mengurangi wewenang dewan, termasuk masalah tanah dan pengamanan, yang menyulut kekhawatiran mengenai apakah aliansi itu akan memiliki wewenang nyata di kawasan tersebut.
India mendesak pemerintah Rajapakse dan Aliansi Nasional Tamil (TNA) bekerja sama secara konstruktif untuk memenuhi kebutuhan penduduk di wilayah tersebut, setelah berakhirnya konflik separatis yang menewaskan lebih dari 100.000 orang.
"Hanya pendekatan kooperatif semacam itu bisa membuka jalan bagi rekonsiliasi murni antara komunitas-komunitas yang terlibat," kata pemerintah New Delhi dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Komisi Tinggi (Kedutaan Besar) India.
TNA menuntut militer ditarik dari kawasan itu, dengan mengatakan tidak perlu prajurit digelar setelah perang berakhir pada 2009.
Koalisi Rajapakse menentang konsesi politik bagi Tamil dan mengatakan, kemenangan mereka akan mengarah pada kekacauan baru.
New Delhi mendesak Kolombo melaksanakan sepenuhnya amandemen konstitusi 1987 yang menetapkan otonomi daerah bagi Tamil, yang mendominasi bekas zona perang namun merupakan minoritas di Sri Lanka.
Menurut New Delhi, seluruh masyarakat adalah pemangku kepentingan yang setara di Sri Lanka yang bersatu dan bisa mengharapkan masa depan yang ditandai dengan kesetaraan, keadilan, martabat dan harga diri.
Tamil Sri Lanka memiliki hubungan budaya dan agama yang erat dengan jutaan warga Tamil di negara bagian Tamil Nadu, India selatan.
Pasukan Sri Lanka meluncurkan ofensif besar-besaran untuk menumpas kelompok pemberontak Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE) pada 2009 yang mengakhiri perang etnik hampir empat dasawarsa di negara tersebut.
Namun, kemenangan pasukan Sri Lanka atas LTTE menyulut tuduhan-tuduhan luas mengenai pelanggaran hak asasi manusia.
Pada September 2011, Amnesti Internasional yang berkantor di London mengutip keterangan saksi mata dan pekerja bantuan yang mengatakan, sedikitnya 10.000 orang sipil tewas dalam tahap final ofensif militer terhadap gerilyawan Macan Tamil pada Mei 2009.
Pada April 2011, laporan panel yang dibentuk Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon mencatat tuduhan-tuduhan kejahatan perang yang dilakukan kedua pihak.
Sri Lanka mengecam laporan komisi PBB itu sebagai "tidak masuk akal" dan mengatakan, laporan itu berat sebelah dan bergantung pada bukti subyektif dari sumber tanpa nama.
Sri Lanka menolak seruan internasional bagi penyelidikan kejahatan perang dan menekankan bahwa tidak ada warga sipil yang menjadi sasaran pasukan pemerintah. Namun, kelompok-kelompok HAM menyatakan, lebih dari 40.000 warga sipil mungkin tewas akibat aksi kedua pihak yang berperang.
PBB memperkirakan, lebih dari 100.000 orang tewas dalam konflik separatis Tamil setelah pemberontak Macan Tamil muncul pada 1972.
Sekitar 15.000 pemberontak Tamil memerangi pemerintah Sri Lanka dalam konflik etnik itu dalam upaya mendirikan sebuah negara Tamil merdeka.
Masyarakat Tamil mencapai sekitar 18 persen dari penduduk Sri Lanka yang berjumlah 19,2 juta orang dan mereka terpusat di provinsi-provinsi utara dan timur yang dikuasai pemberontak. Mayoritas penduduk Sri Lanka adalah warga Sinhala. (ant/bm 10)