Random Posts

header ads

Buruh minta UMP DKI Rp 3,7 juta, realistiskah?

Jakarta - Tahun ini Pemprov DKI Jakarta telah menetapkan upah minimum provinsi (UMP) DKI sebesar Rp 2,2 juta. Dan tahun depan, buruh akan kembali menuntut agar UMP sebesar Rp 3,7 juta. Tuntutan buruh itu langsung ditanggapi beragam oleh berbagai pihak. Salah satunya dari Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ia menilai, tuntutan buruh itu sangat berat untuk direalisasikan.

"Berat. Kalau saya lihat berat, mesti relokasi," ujar Ahok di Balai Kota, Jakarta, Selasa (20/8) kemarin.

Ahok mengakui, kebutuhan hidup layak (KHL) di DKI tinggi, tapi buruh terus menerus meminta kenaikan gaji juga tidak benar. "Faktanya gitu. Tapi produktivitas Anda tidak sesuai, itu yang kita maksud. Makanya akhirnya buruh-buruh itu kita bilang jangan ada pabrik di Jakarta. Kalau hidup di Jakarta standartnya memang Rp 3,5 juta," jelas Ahok.

Ahok juga mengaku sudah menerima laporan penangguhan upah minimum provinsi (UMP) sejumlah perusahaan. UMP baru Rp 2,2 juta saja sudah banyak pengusaha yang protes dan minta penangguhan. Ahok pun tak mau mengabulkan semua permintaan penangguhan itu.

"Ada yang diterima ada yang ditolak," ujar Ahok. Ahok menjelaskan, biaya hidup di Jakarta memang tinggi.

Ahok mempersilakan perusahaan yang tidak mampu membayar UMP Rp 2,2 juta, silakan keluar Jakarta. "Makanya kita bilang pemerintah pusat agar bangun pusat struktur yang bener. Kalau produksinya kamu tidak bisa menutupi gaji, artinya perusahaan kamu tidak boleh ada di tempat yang KHL-nya mahal dong. Coba kamu jadi pegawai mau makan apa? makanya harus pindah keluar kota kan," tandasnya.

Pemerintah pusat sendiri sebenarnya sudah menetapkan formulasi baru penentuan upah buruh untuk tahun depan. Besarannya adalah sekitar 20 persen dengan patokan inflasi sebesar 4,5 persen. Formula baru ini rupanya ditentang buruh.

"Buruh menuntut kenaikan upah minimal sebesar 50 persen. Bukan 20 persen atau senilai inflasi," ujar Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Nining Elito kepada merdeka.com di Jakarta, Senin (19/8) lalu.

Dia menjelaskan, ada beberapa alasan yang menjadi dasar pertimbangan besarnya kenaikan upah buruh. Pertama, daya beli buruh menurun akibat kenaikan harga BBM. Pertimbangan lain, selama ini buruh merasa selalu dijadikan obyek investasi.

Dia menegaskan, nilai kenaikan upah minimum bukan ditentukan kemampuan industri padat karya tetapi ditentukan oleh biaya hidup layak. Selama ini, kenaikan upah buruh tidak ada artinya lantaran belum memenuhi standar kebutuhan hidup layak.

Menanggapi tuntutan buruh itu, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Raja Sapta Oktohari mengatakan, pemerintah jangan cepat-cepat menaikkan upah buruh. "Kalau saya lihat, pemerintah jangan terlalu cepat buat keputusan. Kita ini masih banyak banget permasalahan, masih ada beban berat. Tolong jangan ditambah-tambah lagi," kata Okto saat ditemui di Kongres Diaspora Indonesia II, Jakarta, Senin (19/8) lalu.

Diakuinya, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyejahterakan buruh. Namun, bukan berarti harus menggunakan cara yang membebani pelaku usaha. "Kita tahu inflasi masih tinggi, bunga bank akan naik, akan jatuh tempo hutang luar negeri. Kurs rupiah mencapai Rp 10.500 per USD. Nanti itu semua akan mengganggu stabilitas dunia usaha," lanjutnya.

Menurutnya, pengusaha dan buruh sama-sama menanggung beban perekonomian yang berat. Untuk itu, ia berharap agar kedua belah saling menahan diri dengan tidak memaksakan tuntutan. "Kami minta semua pihak sama-sama menahan diri," katanya. (Sumber: Merdeka.com)