Random Posts

header ads

Toleransi beragama kini disalahartikan

Jakarta - Bagi mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, toleransi beragama di Indonesia secara formal sudah pada jalurnya. Bahkan, budaya ini melebihi negara Asia Tenggara lainnya, atau Amerika dan Eropa sekalipun.

Menurut dia, toleransi harus dilakukan dua pihak, kelompok mayoritas dan minoritas. "Saat ini, seakan-akan yang mayoritas harus toleran kepada minoritas. Harusnya juga yang minoritas toleran kepada yang mayoritas, kata Kalla saat berkunjung ke kantor redaksi merdeka.com Senin lalu.

Berikut penututan Kalla dalam diskusi sekitar dua jam, diselingi canda dan tawa khas Ketua Palang Merah Indonesia ini.

Kenapa Anda sekarang suka mengkritik Jokowi?

Jauh sebelumnya, itu saya lakukan. Saya merasa tidak enak kalau dia gagal. Saya yang panggil Jokowi dari Solo.

Anda menyesal dengan popularitas Jokowi sekarang mengalahkan Anda?

Enggak. Saya memilih Jokowi karena harus ada yang lain. Saya obyektif saja kalau mengkritik dia. Saya menyarankan Jokowi untuk belajar seperti gubernur New York. Dia tiap Senin kumpul bersama camat-camatnya, baru keliling kota.

Kalau dipinang jadi wakil presiden lagi berminat tidak?

Siapa mau pinang? Bagi saya, bukan soal jadi presiden atau wakil presiden, tapi bagaimana bangsa ini bisa dibangun. Pengalaman saya di mana-mana. Saat ini soal cabe di persoalkan, soal daging. Semua gampang diselesaikan, tapi bukan impor.

Konsep ekonomi seperti apa Anda tawarkan?

Meningkatkan kualitas masyarakat dengan keadilannya. Dulu, 2008-2009, swasembada pangan, beras. Saya cuma tiga bulan rencanakan. Hanya perbaikin bibit. Sering orang bilang, bagaimana bisa? Yang menyelesaikan swasembada pangan itu jaksa agung dan polisi. Sekarang ini, negeri ini takut karena tidak dilindungi.

Hanya konsep ekonomi yang ditawarkan?

Semuanya, negeri ini tidak bisa hanya ekonomi. Tapi politik, sosial, keamanan, harus dilakukan bersamaan. Itu bisa sinkron.

Anda lebih terkenal dalam menyelesaikan konflik, bagaimana Anda melihat banyaknya konflik?

Orang konflik kenapa? Karena tidak adil. Kita harus menyelesaikan keadilannya dan ketegasannya. Bagaimana orang berkelahi terus, kantor bupati dibakar, polisi hanya melihat saja. Jadinya seperti hukum rimba. Artinya, kalau orang bunuh orang ramai-ramai atau bakar ramai ramai tidak ada hukumannya. Saya waktu itu peringatkan Kapolri sampai Kapolda dan mengatakan ini kepada presiden, ini bahaya jika terjadi pembiayaran.

Anda akan fokus juga terhadap membuat resolusi konflik?

Bukan resolusi konflik, tapi bagaimana tidak terjadi konflik. Caranya, jaga keadilan dan wibawa hukum. Kalau salah, tangkap saja, kalau tidak salah, jangan. Yang paling penting jadi teladan yang baik.

Apakah kemampuan Anda menyelesaikan konflik mendorong elektabilitas ?

Orang sudah lupa itu. Apalagi itu terjadi sepuluh tahun lalu. Saat ini banyak pemilih baru saat itu masih SD. Tapi tentu, orang mempersepsikan saya seperti itu bagus juga.

Menurut Anda, sudah seberapa parah kekerasan atas agama di Indonesia?

Peristiwa Sampang tentu kita sesalkan. Tapi kita seperti negara lain, seperti di Pakistan, soal toleransi dengan agama lain. Coba tunjukkan negara secara formal lebih baik dari Indonesia. Semua agama di sini punya hari libur. Semua agama di Indonesia ada wakilnya, kita atur semua itu. Kita paling toleran. Mana itu terjadi di Eropa atau Amerika, tidak ada tuh.

Namanya toleransi harus kedua pihak. Toleransi itu harus saling memahami. Saat ini, seakan-akan yang mayoritas harus toleran kepada minoritas, tapi harusnya juga yang minoritas toleran kepada yang mayoritas.

Kebebasan beragama beda dengan kebebasan membangun rumah ibadah. Kekebasan beragama hak semua orang. Tapi membangun rumah ibadah, itu urusan wali kota, bukan urusan Tuhan. Sama dengan semua orang bebas berpendidikan, bebas berusaha. Tapi tidak semua orang bisa bikin pasar di mana pun, bisa bikin sekolah dimana saja.

Begitujuga dengan tempat ibadah, tidak boleh dibangun dimana pun. Tapi Anda boleh berdoa di mana pun karena Tuhan akan menerima. Orang mempersepsikan sekarang tidak diizinkan membangun rumah ibadah melanggar kebebasan beragama. Itu beda dan selalu disalahartikan. Saya selalu bilang di Indonesia ada gereja terbesar di contohnya di Kemayoran. Itu tidak ada yang protes.

Jadi penghargaan diberikan kepada SBY memang pantas?

Itu bukan SBY saja yang bikin, sejak negeri ini berdiri. Saat SBY menerima, saya katakan anggaplah itu penghargaan kepada negara diwakilkan oleh SBY.

Kalau Anda ke luar negeri, apakah suka diejek terkait kepemimpinan SBY?

Tokoh-tokoh ini tidak pernah ngomong kepada saya, cuma di media saja. Kalau di dalam negeri kita boleh keras ngomong, tapi di luar negeri kita kompak tuh. Saya tidak pernah ngomong apapun. Kalau di luar negeri, saya belain negeri ini. Karena itu saya jarang pidato di luar negeri. Kalau ngonong umum soal dunia, saya mau. (Sumber: Merdeka.com)