INDONESIA tanpa Maluku bukan Indonesia. Ini bukan kalimat asing bagi bangsa ini jika kita tetap berkaca pada sejarah. Proklamator RI Ir Soekarno bilang begitu karena kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia semata-mata untuk mencari rempah-rempah di Kepulauan Maluku (The Spice Islands), terutama Ternate, Banda, Saparua, Nusalaut, Haruku, dan pulau-pulau lainnya.
Karena perebutan lahan ekonomi di Maluku, muncul monopoli yang berbuntut pencaplokan dan penjajahan selama ratusan tahun. Setelah Maluku barulah daerah lain merasakan pahit getirnya penjajahan.
Karena merasa nasib sepenanggungan, didirikanlah Indonesia. Soekarno juga tahu, orang Maluku terbukti gagah berani di medan pertempuran ketimbang etnis lain.Thomas Matulessy yang digelari Kapitan Pattimura merupakan pahlawan nasional yang lebih dulu angkat senjata dan mengobarkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme barat.
Ketika Pattimura akan dihukum gantung oleh Belanda, ada kata-kata yang ia ungkapkan kemudian tercatat dalam sejarah. Nunu oli, Nunu seli, Nunu karipatu, Patue karinunu (Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya (demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya).
Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan Pattimura sebelum dia digantung, Dia memang seorang patriot yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut. Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Ia tetap optimis meski menghadapi maut sekalipun.
Pengalihan lokasi lari obor di Hari Ulang Tahun Kapitan Pattimura ke-196 di tahun ini juga akibat siasat adu domba. Para pemimpin kita saat ini memang suka mengadu domba masyarakat untuk mempertahankan (melanggengkan) kekuasaannya. Tak peduli rakyat yang mereka pimpin menderita atau jatuh korban jiwa, yang penting konflik diciptakan agar kekuasaan aman, dan selanjutnya target mencapai kekuasaan lebih tinggi kelak tercapai dengan mulus.
Semangat Kapitan Pattimura ternyata telah diracuni egoisme pemimpin, dan ambisi jabatan yang mengorbankan rakyat Maluku. Jika dulu Kapitan Pattimura bangkit berperang melawan penjajah asing, rakyat Maluku kini justru ditantang keberaniannya untuk bertempur melawan ketidakadilan, kemiskinan, korupsi, dan siasat adu domba orang basudara yang masih terus dilakoni elite-elite lokal dan nasional maupun pemiskinan sistematis negara.
Lebih baik tidak usah dirayakan HUT Pattimura kalau event ini hanya sebatas seremonial tahunan, tak punya makna, dan buang-buang anggaran. Lebih baik anggarannya dikhususkan untuk merehabilitasi rumah-rumah kumuh, membantu para korban bencana, dan menggelar seminar-seminar nasional untuk mencari solusi bagaimana memotivasi atmosfer olahraga Maluku. Tidak salah jika Saparua dijadikan lokasi utama lari obor karena sejauh ini Saparua terkalahkan hiruk-pikuk kosmopolitan Amboina. Bukan sebatas untuk mengangkat pariwisata Saparua, tapi perayaan HUT Pattimura tahun ini di Saparua punya starting point untuk membangun lagi Saparua dari puing-puing diskriminasi pembangunan sentralistik karena ketidakpedulian pemerintah dan egoisme anak-anak negerinya sendiri. Maklum, di hampir seluruh Negara di dunia dan di sebagian besar provinsi di Indonesia bertaburan potensi anak-anak Saparua. Ironisnya, hanya Saparua jualah kecamatan tertinggal dibanding kecamatan bersejarah lain di Maluku.
Padahal, jarak Saparua dan Ambon hanya sejauh mata memandang. Penyebabnya, elite-elite politik maupun akademisi asal Saparua lebih bangga mengklaim diri sebagai orang Ambon, bukan Saparua. Butuh perubahan paradigma jika tak ingin Saparua hanya noktah kecil terlupakan di tengah samudera luas globalisasi internasional. Tanpa Saparua juga tak ada Maluku. Membangun Maluku ke depan harus diawali dari pendekatan geohistoris seperti ini. Saparua, Nusalaut, Haruku, Ambon, Banda, dan Kisar adalah mozaik peradaban masa lalu dan masa depan Maluku dalam pergulatan politik internasional abad ke-21. Karena itu, kecamatan-kecamatan ini harus dibangun dan dikhususkan dalam pembangunan wisata sejarah dan budaya, termasuk wisata seni dan wisata bahari. Semangat Pattimura harus menyemangati anak-anak Negeri ini untuk meninggalkan aroma provokasi, tak larut dalam politik adu domba Negara melalui TNI-Polri, dan berkomitmen membangun bingkai persaudaraan yang elegan dan berkeadaban. Tanpa kesadaran kolektif, Maluku akan tetap tert
inggal dan ditinggalkan roda zaman karena diskriminasi Negara ini. Mena Maluku.! (**)
Karena perebutan lahan ekonomi di Maluku, muncul monopoli yang berbuntut pencaplokan dan penjajahan selama ratusan tahun. Setelah Maluku barulah daerah lain merasakan pahit getirnya penjajahan.
Karena merasa nasib sepenanggungan, didirikanlah Indonesia. Soekarno juga tahu, orang Maluku terbukti gagah berani di medan pertempuran ketimbang etnis lain.Thomas Matulessy yang digelari Kapitan Pattimura merupakan pahlawan nasional yang lebih dulu angkat senjata dan mengobarkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme barat.
Ketika Pattimura akan dihukum gantung oleh Belanda, ada kata-kata yang ia ungkapkan kemudian tercatat dalam sejarah. Nunu oli, Nunu seli, Nunu karipatu, Patue karinunu (Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya (demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya).
Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan Pattimura sebelum dia digantung, Dia memang seorang patriot yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut. Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Ia tetap optimis meski menghadapi maut sekalipun.
Pengalihan lokasi lari obor di Hari Ulang Tahun Kapitan Pattimura ke-196 di tahun ini juga akibat siasat adu domba. Para pemimpin kita saat ini memang suka mengadu domba masyarakat untuk mempertahankan (melanggengkan) kekuasaannya. Tak peduli rakyat yang mereka pimpin menderita atau jatuh korban jiwa, yang penting konflik diciptakan agar kekuasaan aman, dan selanjutnya target mencapai kekuasaan lebih tinggi kelak tercapai dengan mulus.
Semangat Kapitan Pattimura ternyata telah diracuni egoisme pemimpin, dan ambisi jabatan yang mengorbankan rakyat Maluku. Jika dulu Kapitan Pattimura bangkit berperang melawan penjajah asing, rakyat Maluku kini justru ditantang keberaniannya untuk bertempur melawan ketidakadilan, kemiskinan, korupsi, dan siasat adu domba orang basudara yang masih terus dilakoni elite-elite lokal dan nasional maupun pemiskinan sistematis negara.
Lebih baik tidak usah dirayakan HUT Pattimura kalau event ini hanya sebatas seremonial tahunan, tak punya makna, dan buang-buang anggaran. Lebih baik anggarannya dikhususkan untuk merehabilitasi rumah-rumah kumuh, membantu para korban bencana, dan menggelar seminar-seminar nasional untuk mencari solusi bagaimana memotivasi atmosfer olahraga Maluku. Tidak salah jika Saparua dijadikan lokasi utama lari obor karena sejauh ini Saparua terkalahkan hiruk-pikuk kosmopolitan Amboina. Bukan sebatas untuk mengangkat pariwisata Saparua, tapi perayaan HUT Pattimura tahun ini di Saparua punya starting point untuk membangun lagi Saparua dari puing-puing diskriminasi pembangunan sentralistik karena ketidakpedulian pemerintah dan egoisme anak-anak negerinya sendiri. Maklum, di hampir seluruh Negara di dunia dan di sebagian besar provinsi di Indonesia bertaburan potensi anak-anak Saparua. Ironisnya, hanya Saparua jualah kecamatan tertinggal dibanding kecamatan bersejarah lain di Maluku.
Padahal, jarak Saparua dan Ambon hanya sejauh mata memandang. Penyebabnya, elite-elite politik maupun akademisi asal Saparua lebih bangga mengklaim diri sebagai orang Ambon, bukan Saparua. Butuh perubahan paradigma jika tak ingin Saparua hanya noktah kecil terlupakan di tengah samudera luas globalisasi internasional. Tanpa Saparua juga tak ada Maluku. Membangun Maluku ke depan harus diawali dari pendekatan geohistoris seperti ini. Saparua, Nusalaut, Haruku, Ambon, Banda, dan Kisar adalah mozaik peradaban masa lalu dan masa depan Maluku dalam pergulatan politik internasional abad ke-21. Karena itu, kecamatan-kecamatan ini harus dibangun dan dikhususkan dalam pembangunan wisata sejarah dan budaya, termasuk wisata seni dan wisata bahari. Semangat Pattimura harus menyemangati anak-anak Negeri ini untuk meninggalkan aroma provokasi, tak larut dalam politik adu domba Negara melalui TNI-Polri, dan berkomitmen membangun bingkai persaudaraan yang elegan dan berkeadaban. Tanpa kesadaran kolektif, Maluku akan tetap tert
inggal dan ditinggalkan roda zaman karena diskriminasi Negara ini. Mena Maluku.! (**)