Random Posts

header ads

BERLAYAR DALAM OMBAK BERKARYA BAGI NEGERI

Karel Albert Ralahalu: “Saya percaya saudara-saudara akan dapat membaca seluruh gagasan dalam buku itu sambil memberi masukan pemikiran yang akan menjadi referensi kajian berikutnya. Namun perkenankan Saya untuk menyampaikan peta pemikiran dari buku ini, sebagai sebuah catatan untuk didiskusikan.”

Satu : ARUMBAE SEBAGAI ELEMEN PANDANGAN DUNIA

Di dalam kosmologi orang Maluku, Arumbae adalah bentukan dari karakter masyarakat pesisir. Namun tidak berarti masyarakat pegunungan tidak ‘fasih’ dengan simbol ini. Di dalam beberapa mitos masyarakat di Maluku, perjuangan melintasi lautan merupakan bagian dari cerita tentang terbentuknya suatu masyarakat. Sebagai contoh, orang-orang Tanimbar – dalam mitos Barsaidi, meyakini bahwa leluhur mereka tiba di pulau Yamdena setelah melewati perjuangan di lautan yang bergelora. Setiba di daratan Yamdena, mereka membangun struktur sosial mengikuti struktur yang terbagi di dalam perahu atau arumbae.

Di sisi lainnya, perjuangan melintasi lautan merupakan bagian dari sejarah keleluhuran. Kedatangan  para leluhur dari pulau Seram, atau juga dari Jawa seperti Tuban dan Gresik, atau dari Pulau Bali menjadi bagian dari cerita keleluhuran masyarakat di Maluku Tengah, Buru, Ambon, Lease dan Maluku Tenggara. Ragam cerita ini ada yang membidani terbentuknya persekutuan Pela dan Gandongantar negeri di Maluku [Tengah].

Di zaman modern, Arumbae menjadi simbol yang cukup populer dalam beragam wujudnya. Dalam pataka Daerah Maluku, Arumbae menjadi simbol daerah yang di dalamnya terdapat lima orang sedang mendayung melewati tantangan lautan. Secara filosofis, maknanya ialah bahwa masyarakat Maluku adalah masyarakat yang mobile, dinamis dan pro-aktif,  penuh daya juang untuk  melewati tantangan sambil menyongsong masa depan yang pasti. Pada beberapa komunitas, laut menjadi simbol dari chaos, atau medan penuh bahaya. Falsafah Arumbae menstrukturkan suatu cara pandang baru bahwa laut adalah ‘medan kehidupan’ yang mesti dihadapi.

Itulah sebabnya, orang Maluku melihat laut sebagai ‘jembatan persaudaraan’ yang menghubungkan masyarakat di satu pulau dengan pulau lainnya. Berlayar ke suatu pulau, seperti dalam pelayaran para leluhur dalam sejarah pembentukan Pela dan Gandong, bertujuan untuk mengeratkan jalinan ‘hidop orang basudara’ sebagai pandangan dunia orang Maluku. Kebiasaan 'papalele', 'babalu' dan 'maano' dengan konsekuensi berlayar ke pulau lain, membuat laut dan arumbae juga menjadi simbol perjuangan ekonomi.

Masih pada level simbolik, arumbae pun kini tampak dalam beragam karya seni. Banyak gapura di jalan-jalan masuk negeri adat di Maluku dibuat berbentuk Arumbae. Banyak lagu Daerah pun mengumpamakan keharmonisan dengan simbol arumbae atau perahu. Seperti syair ini : ’kata tujuh ya, nona, ditambah tujuh. Sapuluh ampa, ya nona, dalang parao’. Di bidang Olahraga pun, event Arumbae Manggurebe telah menjadi event tahunan olahraga dan pariwisata. Ada satu pintalan makna baru di sini, yakni para pendayung arumbae diharuskan dari dua atau lebih negeri yang ber-pela gandong. Artinya arumbae menjadi titik harmoni baru untuk memperkokoh semangat dan modal ‘hidop orang basudara’ di Maluku.

Pada prinsip itulah, Judul Buku ini ‘Berlayar Dalam Ombak, Berkarya Bagi Negeri’ merupakan materialisasi dari falsafah arumbae. Maluku diumpamakan sebagai arumbae yang selalu siap berlayar di dalam ombak. Jurumudi dan para masnait adalah anak negeri yang terus berjuang melawan ombak sebesar apa pun, agar dapat tiba di negeri, dan bersiap membangun negeri.

Dua : MENCARI SEBUAH PARADIGMA KONTEKSTUAL

Visi Pembangunan Daerah Maluku 2008-2013 adalah ‘Mewujudkan Maluku yang sejahtera, rukun, religius dan berkualitas dijiwai semangat Siwalima berbasis kepulauan secara berkelanjutan’ menjadi imperatif yang perlu diimplementasi dalam semua aspek pembangunan, pemerintahan, dan hidup masyarakat.

PEMBANGUNAN BERBASIS KEPULAUAN..!! merupakan sebuah pernyataan dalam rumusan visi itu, sekaligus menunjuk pada paradigma pembangunan daerah. Dengan paradigma itu, selain Maluku memerlukan penanganan spesifik, atau kebijakan-kebijakan kontekstual, sekaligus memberi kepada kita keyakinan untuk melakukan interupsi dan kritik terhadap paradigma pembangunan makro yang selama ini dipakai di Indonesia. Saya mau mengatakan hal itu untuk mengajak kita berpikir bahwa perjuangan melalu UU Provinsi Kepulauan bersama dalam 7 (tujuh) Provinsi Kepulauan di Indonesia merupakan gerakan demokrasi yang konstruktif supaya ada keadilan pembangunan.

Paradigma itu menjadi kontekstual di Maluku, sebab selama ini pemerataan sebagai jargon pembangunan tertatih-tatih menyelesaikan sekian banyak faktor klasik seperti keterisolasian wilayah. Di negara kepulauan ini, sarana transportasi ke pulau-pulau dan pelosok sangat sulit dibangun. Jika dijejaki maka kelemahannya bukan hanya pada level teknis, tetapi kelemahan paradigmatik. Pemerataan pembangunan dijalankan dengan paradigma kontinental – sehingga perhubungan antar-kota yang diutamakan. Tidak heran jika pembangunan jalan dan jembatan menjadi ‘proyek-proyek massal’ dari waktu ke waktu. Sementara pulau-pulau dan pelosok-pelosok yang jauh sulit sekali terhubung secara sosial-ekonomi. Maka barometer pembangunan adalah pada sektor pertanian dan perkebunan dengan industri pengolahan hasil kebun, hasil hutan dan hasil pertanian.

Menyadari akan hal itu, maka pembangunan berbasis kepulauan merupakan sebuah interupsi paradigmatik terhadap paradigma pembangunan berbasis kontinental. Dalam konteks Maluku paradigma ini dijadikan sebagai titik berangkat yang baru dalam mendesain semua sistem dan mekanisme pembangunan termasuk sistem dan mekanisme keuangan daerah. Harapannya semua pulau terbangun sebagai kekuatan ekonomi yang handal. Itulah sebabnya sistem ekonomi melalui pintu jamak [multygate system] merupakan model pengerahan potensi sosial-ekonomi dari setiap gugus pulau di Maluku.

Melalui paradigma kontekstual tadi, pendekatan pensejahteraan merupakan pendekatan utama untuk mengembangkan pulau-pulau terdepan yang berbatasan langsung dengan luar negeri, seperti di Kabupaten Maluku Barat Daya, Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Kabupaten Kepulauan Aru. Eksistensi pulau-pulau terdepan ini adalah eksistensi nasional. Maka kesejahteraan masyarakat setempat adalah tanggungjawab yang tidak boleh diabaikan.

Secara strategik, visi itu dilaksanakan melalui serangkaian kegiatan pembangunan yang turut pula mendorong partisipasi masyarakat, sebab masyarakat menjadi elemen kunci dari perwujudan visi dimaksud. Bahwa sampai tahun 2012 ini, pencapaian Visi pembangunan itu sudah bisa dievaluasi secara bersama melalui berbagai capaian yang sudah berhasil diraih di berbagai sektor. Namun masih ada hal-hal tertentu yang perlu dikembangkan dalam rangka menuju daya saing derah berkelanjutan.

Paradigma kontekstual tadi memerlukan cultural capital untuk menggerakkan pencapaiannya. Dalam visi pembangunan Maluku 2008–2013 seperti tercermin tadi, Budaya Siwalima menjadi semangat dalam menggerakkan pembangunan daerah Maluku. Menjadikan budaya Siwalima sebagai semangat [spirit] berarti pembangunan daerah Maluku adalah sebuah strategi kebudayaan.

Pembangunan sebagai strategi kebudayaan mengasumsikan bahwa pembentukan karakter sosio-budaya masyarakat akan berimplikasi langsung pada tingkat partisipasi rakyat dalam mensukseskan pembangunan daerah. Semangat Siwalima mengarahkan kita bahwa pembangunan daerah Maluku mesti; (a) menjamin kesejahteraan –dengan kemampuan dan kearifan untuk menjaga kelestarian alam dan potensi kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Maluku; (b) menjamin relasi saling menghargai – dengan kemampuan dan kearifan untuk memelihara pranata-pranata kebudayaan ‘orang basudara’ agar (c) menjamin kohesifitas masyarakat – dengan kemampuan dan kearifan untuk mewujudkan perdamaian dan meningkatkan ketahanan sosial masyarakat [baca. stabilisasi sosial-politik] dan (d) menghidupkan dialog dan perjumpaan dalam semangat ‘hidop orang basudara’ – dengan kemampuan dan kearifan untuk menerima dan menghargai kemajemukan dalam masyarakat.

Karena itu, saya yakini, tulisan-tulisan dalam buku ini telah mengelaborasi sisi falsafah budaya orang Maluku, telah pula merefleksikan secara gamblang realitas pembangunan  di Maluku, tetapi juga refleksi dan ‘meditasi’ terhadap warisan-warisan religiusitas masyarakat, dalam semangat ‘membawa Maluku semakin berkualitas’.

Tiga : TUANGAN GAGASAN, REFLEKSI DAN KRITIK

Jika saudara-saudara membaca Buku ini, terdapaat 4 (Empat) topik bahasan sebagai cuatan pengertian, pengenalan dan visi pengembangan demi memantapkan basis daya saing daerah berkelanjutan. Keempat topik tersebut ialah: (1) Mewujudkan masyarakat Maluku yang sejahtera; (2) Mewujudkan masyarakat Maluku yang rukun; (3) Mewujudkan masyarakat Maluku yang religius; (4) Mewujudkan masyarakat Maluku yang berkualitas.

Tulisan-tulisan di dalam tiap topik itu ada yang berupa deskripsi hasil-hasil pembangunan, ada pula yang berisi refleksi diri dan analisis lingkungan strategis, serta visi ke depan sebagai perenungan baru untuk terus memajukan Maluku.

Keempat domain topik itu diharapkan menjadikan Buku ini sebagai buku pegangan [handbook] untuk kepentingan akademis, promosi keunggulan daerah, dan referensi kajian sosial lainnya.

“Saya merasa penting untuk menjelaskan Judul Buku ini pada seperangkat fakta empris yang menjadi alasan mengapa Judul itu yang kami usung. Bahwa Judul itu merupakan kristalisasi dari fakta empiris Maluku sejak tahun 2003 atau dalam masa ketika Saya dipercayakan oleh rakyat untuk menjabat sebagai Gubernur Maluku, bersama saudara kita Drs. M.A. Latuconsina.“

I. DARURAT SIPIL : Ombak Pertama

Maluku 2003, pada saat saya dipilih oleh DPRD Provinsi Maluku sebagai Gubernur bersama saudara saya Drs. M.A. Latuconsina sebagai Wakil Gubernur, ibarat ada sebuah hambatan besar.

Hambatan itu ialah kondisi Maluku yang masih dalam status Darurat Sipil oleh konflik 1999. Tetapi pemerintah sudah terbentuk. Itu berarti harus ada langkah-langkah konkrit, dialogis dan persuasif untuk segera memulihkan kondisi Maluku. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku oleh DPRD Provinsi Maluku pada waktu itu adalah bukti bahwa konflik Maluku segera berakhir. Sebab dengan berfungsinya lembaga legislatif dan terbentuknya pemerintahan baru, pertanda aktifitas pemerintahan segera berjalan dan pembangunan segera diselenggarakan. Pemerintah Pusat memberi respons positif dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 71 Tahun 2003 Tentang Penghapusan Keadaan Darurat Sipil di Provinsi Maluku. Kepres itu dikeluarkan pada 14 September 2003 atau sehari sebelum Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku. Pasal 1 Kepres tersebut menyatakan; ‘Terhitung mulai tanggal berlakunya Keputusan Presiden ini, keadaan darurat sipil yang diberlakukan di seluruh wilayah Provinsi Maluku berdasarkan Keputusan Pre
siden Nomor 88 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2002, dinyatakan diakhiri dan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Maluku untuk selanjutnya dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada tertib sipil’.

Secara personal mungkin saya melihat bahwa KEPRES itu merupakan hadiah yang terindah bagi saya. Sebab Pemerintah Pusat, melalui Presiden, Megawati Soekarnoputri, menaruh percaya kepada saya. Walau sesungguhnya harus saya akui bahwa itulah kado terindah untuk Maluku, dan kado itu adalah milik masyarakat. Sehingga dari situ saya berusaha semampu saya bersama semua masyarakat di semua wilayah tanah ini membangun negeri tercinta ini. Dan hebatnya ialah kita membangun justru di dalam kondisi krisis.

Karena itu bertepatan dengan pelantikan kami pada 15 September 2003, peace and trust building langsung menjadi agenda utama. Sungguh hal itu merupakan bentuk keseriusan pemerintah dan masyarakat segera menanggulangi kondisi sosial di Maluku. Sebab kita bersegera harus membuka barikade-barikade fisik yang menyekat wilayah, dan juga membuka ‘barikade’ psikhis yang selama ini menghalangi ‘hidop orang basudara’. Adanya peran aktif semua elemen pemerintahan, lembaga-lembaga agama, para pimpinan umat beragama membuat proses itu semakin cepat dilakukan. Para pimpinan umat beragama berlomba-lomba mencerahi umatnya dengan khotbah-khotbah damai. Pemulihan rasa saling percaya terbangun secara mantap melalui forum-forum kerjasama antar umat dan yang berbasis kultural [seperti melalui pranata pela, gandong, larvul ngabal, ain ni ain, kaka wai].

Secara pesimistik banyak orang berkata bahwa konflik Maluku sulit diselesaikan. Namun kearifan budaya dan rasa ‘hidop orang basudara’ yang menguat di kalangan masyarakat membuat kita secara sadar menghentikan konflik itu. Semua itu terjadi oleh sebab mekanisme budaya masyarakat Maluku ternyata handal [reliable], ampuh dan bernilai luhur. Sebagai orang percaya kita percaya bahwa semua itu merupakan bentuk berkat dan ridho TUHAN bagi Maluku.

Dari situ maka ada dua hal yang penting untuk segera dibangun. Pertama, bagaimana segera mengeluarkan Maluku dari keterpurukan sosial dan ekonomi, dan kedua, mekanisme kebudayaan apa yang perlu dibangun untuk mengerahkan partisipasi masyarakat.

II. KEMISKINAN DAN KETERISOLASIAN : Ombak Kedua

Pernyataan Isaac Newton; ‘we build to many walls, and not enough bridges’ merupakan sebuah telaah matematis yang sebenarnya mempertanyakan rumus-rumus atau kaidah-kaidah keilmuan yang digunakan untuk memecahkan sebuah masalah secara kuantitatif. Saya tidak melihat bagaimana rumus dan dalil seperti Newton, melainkan berusaha meresapi makna filsafatik dari pernyataan itu untuk mencoba memahami konteks Maluku sebagai sebuah Provinsi Kepulauan -- di dalam kesadaran yang sama tentang Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan pula. Makna filsafatik itu saya dialogkan sendiri dengan seluruh tugas membangun Maluku. Saya tiba pada sebuah keputusan bahwa ‘saya harus pergi dan melihat seluruh keberadaan masyarakat Maluku di semua pulau’. Sesungguhnya hal itu didorong oleh sebuah renungan pemikiran sederhana bahwa ‘tidak boleh ada masyarakat Maluku yang merasa bahwa mereka dimarginalkan oleh pemerintah dan pembangunan’; malah ‘jangan ada yang terus menstigmakan daerah pelosok dan pedalaman, sebab stigma itu telah membuat
mereka terisolasi secara sosial, politik, kultural dan ekonomi’ [Maluku forgotten island]. Sebuah ‘jembatan’ mesti dibangun!

Napak tilas ‘baku dapa’ [baca. berjumpa] semua warga Maluku di semua pulau dimulai dari kawasan Pulau-pulau Terselatan ---kini telah menjadi Kabupaten Maluku Barat Daya [MBD], terus melingkar sampai ke Seram Bagian Timur [SBT] baru kemudian ‘maso Ambon’ (baca. kembali ke Ambon). Bersama dengan Muspida [sekarang disebut Forum Kordinasi Pimpinan Daerah, FORKOMPINDA] kami melewati tantangan di lautan dan udara, sampai helikopter yang ditumpangi nyaris jatuh di Ilwaki, Pulau Wetar.

Ada banyak pengalaman yang dapat dipetik dari situ, di antaranya, selama Republik Indonesia ini ada, jangankan Bupati dan Gubernur, ternyata Kepala Kecamatan pun belum pernah pergi ke daerah-daerah pelosok yang jauh itu. Tidak berlebihan jika bagi mereka ‘sayalah Pemerintah yang pertama tiba dan berjumpa dengan mereka di pulau-pulau yang ada di pelosok Maluku Barat Daya itu’. Suasana hati saya ‘bercampur aduk’. Tetapi saya tidak mau larut dalam kesedihan, karena mereka begitu bersemangat ‘menjadi orang Maluku dan Indonesia’. Semangat mereka itu membuat saya berpikir ‘apa yang harus dilakukan agar pulau-pulau yang jauh ini terhubung dalam satu mata rantai pembangunan daerah?’

III. UNDANG-UNDANG PROVINSI KEPULAUAN : Laut Indonesia Masih  Berombak

Perjuangan menuntut pengakuan dan perlakuan Maluku sebagai Provinsi Kepulauan, bersama dengan provinsi Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Kepulauan Bangka-Belitung, dan Kepulauan Pulau-pulau Riau, merupakan cara untuk mewujudkan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Masyarakat yang selama ini termarginalisasi oleh pembangunan nasional dan pembangunan daerah mesti menikmati hasil pembangunan daerah dan pembangunan nasional.

Instrumen pembangunan kontinental merupakan salah satu alasan struktural mengapa pemerataan hasil pembangunan di Provinsi yang bercorak kepulauan sangat sulit. Biaya ekonomi tinggi [high cost economy] turut berdampak pada kultur pembangunan dan pemerintahan. Program pembangunan lebih cenderung dialokasikan ke daerah yang dekat dengan pusat. Kunjungan kerja sebagai bagian dari kontrol juga disasarkan pada daerah yang dekat tersebut.

Oleh sebab itu pembangunan berbasis kepulauan menjadi agenda penting dalam rangka percepatan akses kesejahteraan dan pertumbuhan daerah-daerah pelosok. Pada sisi itu, pemekaran wilayah Kabupaten yang sudah terjadi di Provinsi Maluku tidak hanya harus dilihat dalam arti efektifitas rentang kendali pemerintahan [span of control] tetapi mesti dimaknai sebagai strategi pensejahteraan yang efektif. 

Di sisi lain, menjadikan sektor Perikanan dan Kelautan sebagai prime mover and leading sector dimaksudkan agar sarana pendukung berupa infrastruktur transportasi laut, lingkar pulau, dan antar-pulau [termasuk melalui udara] dipercepat. Proyek-proyek massal itu menjadi instrumen penting dalam merealisasi pendekatan pembangunan berbasis Gugus Pulau dalam sistem Pintu Jamak [multy gate system].

IV. SIWALIMA : Falsafah Yang Memperkuat

Dari konteks Maluku itu, maka pertanyaan kedua yang perlu dijawab ialah mekanisme kebudayaan apa yang perlu dibangun untuk mengerahkan partisipasi masyarakat? Mengapa mekanisme kebudayaan? Sebab proses recovery Maluku pascakonflik memerlukan adanya proses-proses pemantapan basis kognisi, afeksi dan sense motorik yang kuat. Ini hanya bisa dibangun melalui sebuah pendekatan pembangunan yang berbasis pada konsep dan carapandang budaya masyarakat. Mungkin hal ini masih perlu didudukkan secara teoritik, tetapi kami berkeyakinan bahwa kebudayaan menjadi sebuah konteks di mana kita dapat mengerahkan partisipasi seluruh masyarakat di dalam agenda pembangunan; baik fisik maupun psikologis atau pembangunan mentalitas, spiritualitas dan religiusitas. Itu adalah pembangunan yang komprehensif dan integratif.

Budaya SIWALIMA merupakan basis pemikiran kebudayaan masyarakat Maluku yang dijadikan sebagai perspektif budaya dari proses pembangunan di Maluku. Pada beberapa tulisan dalam buku ini hal itu sudah dijelaskan secara mendetail; malah kerangka filsafatiknya pun telah tergali begitu mendalam.

Saya hanya hendak menerangkan alasan-alasan dasar mengapa basis pemikiran budaya ini menjadi penting sebagai sebuah carapandang pembangunan Maluku. Ketika banyak pihak mengamanatkan pentingnya kearifan lokal [local wisdom] sebagai kekuatan membangun karakter manusia; maka pembangunan sebagai salah satu instrumen pembentukan karakter manusia mesti pula didesain secara cermat dengan bertumpu pada kearifan lokal.

Budaya SIWALIMA bukanlah penggunaan suatu unsur kearifan lokal untuk mengisi suatu agenda global/universal. Ibarat mengisi air ke dalam sebuah gelas. Budaya SIWALIMA adalah ‘gelas’ itu sendiri; artinya budaya itu menjadi wadah dan wahana untuk mengkonsolidasi segala hal. Sebab itu dalam strategi pembangunan, budaya SIWALIMA merupakan paradigma yang darinya kita memandang serta mengembangkan pembangunan dan pemerintahan di Maluku.

Di dalam paradigma SIWALIMA, pembangunan Maluku adalah sebuah proses dialektika dan dialogis. Proses dialektika artinya pembangunan harus dapat membangun sebuah sintesa antara kebutuhan rakyat, harapan rakyat dan cita-cita daerah ke dalam bentuk program-program konkrit. Hak-hak masyarakat adat [indigenous rights], pengetahuan lokal [indigenous knowledge], dan segala kekayaan alam yang ada mesti dikelola dengan tetap menjaga keutuhan hidup masyarakat adat, menghormati pranata-pranata sosial mereka, dan memelihara integrasi negeri-negeri yang adalah satuan sosio-genealogis. Itulah sebabnya Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2005 dan pembentukan Forum Latupati Maluku (29 Oktober 2007) dimaksudkan agar proses-proses dialektika itu berlangsung melalui konektivitas yang kuat di antara institusi pemerintahan mulai dari level paling bawah.

Proses dialogis dimaksudkan agar proses-proses komunikasi antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan institusi pemerintahan bisa berlangsung secara efektif. Dalam budaya SIWALIMA komunikasi merupakan salah satu usaha meningkatkan kohesifitas masyarakat. Ada hubungan yang mutual di antara tiap unsur atau elemen sosial, dan hubungan itu bertendensi pada perdamaian, persaudaraan, tanggungjawab, tetapi juga kesetiaan untuk menaati perjanjian yang telah disepakati.

Paradigma SIWALIMA dalam pemerintahan mengasumsikan perlunya pemerintah yang bersih dalam arti jujur, bertanggungjawab, dekat dengan rakyat [dalam semangat hidop orang basudara] atau apa yang sejak awal disebut pemerintahan yang demokratis [democratic government]. Secara kultural, negeri-negeri, aman, hena, ohoi, di Maluku adalah satuan demokrasi kultural yang kuat. Kekerabatan yang terlembaga dalam ikatan soa dan selanjutnya terjelma dalam Saniri sebagai bentuk kolektifitas pemerintahan mengamanatkan bahwa pemerintahan daerah di Maluku perlu dibangun dalam mekanisme-mekanisme ‘hidop orang basudara’.

Pemerintahan yang kuat dan dipercaya rakyat adalah pemerintahan yang mampu menjaga kohesifitas sosial dan mendorong proses-proses ‘masohi, badati, maano, hamaren’ --- yakni mendorong tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan. Tingkat partisipasi yang tinggi adalah wujud dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan.

Karena itu paradigma SIWALIMA harus dapat membentuk watak atau keteladanan seorang pemimpin di dalam masyarakat. Orang Maluku selama ini belajar dari pemimpin yang berkharisma. Itulah sebabnya mengapa Raja-raja adalah tokoh-tokoh kharismatik yang begitu dihormati oleh masyarakat adat. Mengapa lembaga Saniri Negeri Adat begitu berwibawa. Pemimpin yang berkharisma SIWALIMA adalah pemimpin yang cinta kepada rakyatnya, mau berkorban, mampu membela kepentingan rakyat, menjaga keutuhan dan perdamaian, melindungi hak-hak daerah dan hak rakyat.

Saya secara pribadi memiliki perenungan tersendiri. Dari hal yang mungkin sederhana bagi pandangan banyak orang. Saya menjalankan tugas sebagai Kepala Staf Korem [Kasrem] 174/Pattimura. Saat itu saya menempati rumah di Kompleks Perumahan Perwira Menengah, di Kelurahan Batu Gantong, Mangga Dua. Beberapa tahun kemudian saya menempati rumah Danrem di samping rumah Kasrem, masih pada Kelurahan yang sama. Kemudian ketika setelah dilantik sebagai Gubernur pada 15 September 2003, dan melintasi jalan yang sama, yang dahulu pernah saya lalui, tetapi kali ini lebih menanjak ke kawasan Gunung Mangga Dua, dan menempati Rumah Jabatan Gubernur, sungguh saya bertanya, apakah jalan-jalan ini dapat menjadi bagian dari sebuah jejak keteladanan seorang pemimpin Maluku? Sampai di situ saya hanya bisa menjawab, when God winks, maka tidak ada yang kebetulan. Tetapi untuk menjadi pemimpin teladan dalam semangat SIWALIMA, jejak-jejak kaki di tanah Maluku harus tampak ‘membekas’.

Masih mengenai paradigma kepemimpinan SIWALIMA, institusi di mana pemimpin itu ada di dalamnya seperti Pemerintah Daerah Provinsi dan semua SKPD, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan semua SKPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Kampus dan lembaga agama mesti menjadi institusi yang diisi oleh para teladan.

V. SAATNYA BERKARYA

Cita-cita ‘membawa Maluku keluar dari keterpurukan’ terus menjadi semacam ‘genderang perang’ untuk melawan kemiskinan, pengangguran, dan begitu banyak bentuk ketertinggalan lainnya.

Proses-proses itu ternyata tidak mudah. Kita harus membangun berbagai infrastruktur dengan dukungan anggaran yang serba terbatas, baik dari APBD maupun Dana Alokasi Khusus dan Dana Alokasi Umum [DAK-DAU] dari Pemerintah Pusat. Di daerah kita dihadang oleh berbagai aksi demonstrasi, mulai dari tuntutan penuntasan masalah pengungsi, hak-hak ulayat, pendidikan dan kesehatan, korupsi, dan berbagai kasus kriminal.

Tak pelak kita dihantam oleh sebuah pukulan telak, pemosisian Maluku sebagai Provinsi termiskin ketiga di Indonesia. Kita bersama-sama membantah parameter yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik Nasional, khusus pada konsumsi karbohidrat dalam hal ini nasi atau beras. Sebab itu ketangguhan pangan lokal yang kita tonjolkan. Demikian pun kekayaan sumber protein dari hasil perikanan dan kelautan mengasumsikan bahwa dari segi itu, kita sebenarnya tidak miskin. Malah ada yang memprotes secara ‘radikal’ bahwa kondisi itu kita alami karena ketimpangan pembangunan. Seluruh kekayaan alam laut dan perikanan kita telah menambah kepada devisa negara sejak Indonesia merdeka. Namun kita tidak mendapatkan hasil yang memadai untuk mendongkrak kondisi ekonomi dan kesejahteraan. Kita benar-benar mengalami proses pemiskinan secara struktural.

Sebagai pemerintah, kita tetap berusaha mengedepankan bentuk-bentuk pembangunan yang konkrit agar semua asumsi nasional itu bisa dipatahkan. Sebab itu secara meyakinkan, sampai tahun 2011 kita sudah mencapai angka pertumbuhan ekonomi yakni 6,02 % dari capaian tahun 2003 yakni 4,31%. Peningkatan aktifitas di bidang perekonomian berdampak pada perbaikan di bidang sosial. Sebab itu tingkat kemiskinan telah mengalami penurunan dari 32,85% pada tahun 2003 menjadi 22,85% pada Maret 2011. Sedangkan tingkat pengangguran dari 17,99% pada tahun 2004 telah mencapai 7,72% pada tahun 2011. Dari sisi pembangunan manusia, nilai IPM Provinsi Maluku juga telah mengalami peningkatan dari 69 pada tahun 2004 menjadi 71,42 pada tahun 2010.

Raihan prestasi itu banyak disumbangkan oleh sektor Usaha Kecil dan Mikro. Sektor ekonomi informil menyerap tenaga kerja yang cukup besar dan hampir merata di semua Kabupaten/Kota. Malah program-program nasional seperti PNPM sudah menjangkau semua negeri, dan melibatkan secara langsung masyarakat setempat. Semua itu menjadi cerminan bahwa ada pergerakan yang signifikan dalam proses-proses pembangunan daerah selama ini.

VI. PERDAMAIAN ITU BUAH KARYA ANAK NEGERI

Ada beberapa keunggulan yang dapat disebut sebagai wujud dari kesungguhan kita bersama membangun Maluku di dalam paradigma SIWALIMA tadi. Dalam usaha memulihkan perdamaian Maluku, pada 25 November 2009, Kota Ambon ditetapkan sebagai tempat pelaksanaan Puncak Hari Perdamaian Dunia, bersamaan dengan diresmikannya Monumen Gong Perdamaian. Kemudian event internasional Sail Banda [2010] menjadi bukti bahwa Maluku telah pulih, dan kepercayaan internasional sudah semakin terbentuk.

Seiring dengan itu, investasi daerah dari para investor nasional dan internasional pun sudah semakin menggeliat. Kerjasama internasional di bidang migas malah sudah dilakukan langsung oleh Pemerintah Kabupaten/Kota di Maluku [saat ini yang sudah pada tahap investasi ialah Pemerintah China dan Korea]. Dengan semakin tingginya kepercayaan internasional kepada Maluku, berarti konektivitas lembaga pemerintahan daerah di tingkat internasional sudah mesti ditingkatkan. Sebab posisi Maluku secara geografis dan geostrategis mengisyaratkan semakin perlunya memantapkan kondisi daerah, birokrasi, regulasi daerah terutama di bidang usaha dan investasi untuk terlibat dalam kerjasama internasional itu.

Pulau-pulau terdepan yang merupakan beranda daerah dan berbatasan secara langsung dengan luar negeri sudah mesti dikembangkan secara komprehensif, dengan menugaskan pula pejabat-pejabat yang profesional untuk memperlancar akses kerjasama internasional secara langsung di kawasan pulau-pulau terdepan itu. Dengan perkembangan pulau-pulau terdepan itu berarti posisi Maluku di tingkat internasional akan semakin mantap. Karena itu, ke depan kita memerlukan energi ekstra untuk memantapkan kualitas dan kapasitas daerah demi mencapai daya saing daerah yang berkelanjutan.

VII. SEMANGAT "HIDOP ORANG BASUDARA" ITU BINGKAI HIDUP BERAGAMA

Semua yang sudah dilakukan sampai saat ini adalah sebuah usaha membangun sebuah peradaban baru masyarakat Maluku. Peradaban pembangunan, kesejahteraan, perdamaian, dan agama-agama.

Untuk itu pelaksanaan MTQ Nasional ke-24 di Ambon, Provinsi Maluku, 9 Juni 2012, bagi masyarakat Maluku adalah bukti bahwa konflik 1999 adalah bentuk politisasi agama. Terlepas dari berbagai analisis --- yang cenderung struktural tentang konflik Maluku, dari waktu ke waktu masyarakat Maluku telah berusaha merenungi ‘sejarah kelam’ itu sambil memperkuat karakter beragama yang baru; sebuah religiusitas yang berpangkal pada praksis perjumpaan antarumat.

Dialog-dialog antarumat yang terjalin selama ini menegaskan bahwa agama-agama di Maluku telah berusaha menghidupi ‘teologi hidop orang basudara’. Keterlibatan semua lembaga agama, Forum Kerjasama antarumat Beragama [FKUB] maupun aktifit inter-faith di Maluku menjadikan ‘teologi hidop orang basudara’ sebagai sebuah praksis agama-agama di Maluku. ‘Teologi Hidop Orang Basudara’ itu adalah sebuah usaha memintal semua ajaran agama yang mengandung gagasan dan nilai-nilai universal dengan kearifan budaya masyarakat Maluku yang juga bernilai universal bagi kemanusiaan. Sesungguhnya, pranata Pela, Gandong, Kaka Wai, hukum Larvul Ngabal, dan berbagai pranata sosio-budaya seperti salam-sarane, dan lainnya mengandung keutamaan-keutamaan umum, kebenaran-kebenaran umum dan kebajikan-kebajikan umum serta bersama dengan nilai-nilai universal dalam agama-agama merupakan kaidah etik dan moralitas umum umat beragama.

Semua itu yang menopang hidup ‘orang basudara’ di Maluku, sekaligus menjadi bingkai teologis dalam arti praksis bagi suksesnya MTQ Nasional ke-24 di Ambon, Provinsi Maluku. Dengan begitu, Maluku akan tetap menjadi pusat peradaban toleransi antarumat beragama di Indonesia dan dunia.

Setidaknya begitulah Maluku sampai di saat ini. Semua catatan kritik dan refleksi kritis yang tertuang dalam buku ini akan melengkapi wawasan kita mengenai keadaan Maluku yang sesungguhnya. Sebaliknya harapan dan perspektif pengembangan yang sarat pula di dalam buku ini merupakan sebuah kondisi ideal untuk membawa Maluku mencapai harapan masa depannya. Saya memiliki harapan dan keyakinan bahwa kita tidak akan terus terkurung di bawah bayang-bayang memori sejarah masa lampau tentang Maluku sebagai negeri legenda. Sebab Maluku akan menjadi legenda baru dalam sejarah dunia. Dan kita harus berperan di dalam sejarah itu. 

VIII. MEMBINGKAI NEGARA KEPULAUAN INDONESIA

Saya mau menutup pengantar Diskusi ini dengan mengajukan beberapa pikiran perenungan, dengan harapan setelah ini akan ada kajian-kajian yang secara serius kita kerjakan bersama. Bahwa negara kepulauan merupakan paradigma utama dalam mendesain segala aspek kehidupan manusia, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

Demokrasi Pancasila tidak hanya dihadapkan pada hal-hal yang ideologis, melainkan pada semakin perlunya reintegrasi sosial dan nasional, dengan membangun kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau, terutama yang berbatasan langsung dengan luar negeri. Sebab demokrasi Pancasila mengasumsikan bahwa sebuah pemerintah itu akan kuat, atau pembangunan itu akan berhasil, jika pemerintah itu dipercaya oleh rakyat dan pembangunan itu melibatkan partisipasi rakyat ke dalamnya. Jika suatu komunitas terisolasi secara sosial, ekonomi dan politik, demokrasi itu akan menjadi lemah.

Ekonomi Pancasila yang bersendikan kekeluargaan dan gotong royong, atau 'masohi' harus pula melindungi potensi spatial negara yang adalah juga milik daerah dan masyarakat. Karena itu ketahanan di bidang ekonomi bukan semata-mata terletak pada seberapa banyak sumber-sumber produksi itu diproteksi, melainkan sejauhmana pengelolaan sumber-sumber itu memberi dampak kesejahteraan kepada masyarakat di pusat produksi sumber-sumber itu.

Dengan demikian, keberhasilan kita membangun kepulauan Maluku akan turut memberi kontribusi bagi kesatuan Negara Kepulauan ini.

Saya berterima kasih kepada semua penulis yang sudah berkontribusi dalam buku ini, dengan harapan agar catatan-catatan kritis dan reflektifnya menyemangati kita menghidupi negeri Seribu Pulau dan ‘NEGERI ORANG BASUDARA’ ini.

Terima kasih kepada para Pembedah atas masukan-masukan kritis yang kiranya menjadi perenungan lanjutan mengenai apa yang masih akan kita kerjakan.

Terima kasih kepada Civitas Akademika UNPATTI untuk tradisi intelektual yang selama ini terjalin, termasuk di hari ini. Itu pula alasannya sehingga Saya berketetapan untuk melaksanakan Launching Buku ini di UNPATTI, bahwa selain sebagai institusi yang paling banyak berkontribusi karya tulisannya, UNPATTI juga merupakan gerbong intelektual yang diharapkan mencapai harapan besar bersama untuk menjadi lembaga pendidikan tinggi terkemuka di Kawasan Timur Indonesia.

Secara khusus Saya pun berterima kasih kepada Para Kontributor yang telah menuangkan banyak ide dan pemikiran, begitu pula kepada Tim Pelaksana Launching, Diskusi dan Bedah Buku ini. Hotumese!

Ambon, 02 Juli 2012

GUBERNUR MALUKU

KAREL ALBERT RALAHALU

Posting Komentar

0 Komentar