Catatan: M. Azis Tunny
Di balik kebersahajaan hidup masyarakat Manusela, tersimpan nilai-nilai kehidupan yang patut diteladani oleh masyarakat modern. Kearifan hidup orang Manusela tak lekang oleh laju modernisasi yang justru sering tidak ramah kepada alam dan lingkungannya.
Untuk mencapai Manusela, desa pertama yang dilalui para penjelajah Jejak Binaya Adventure, terlebih dahulu rombongan para pendaki Gunung Binaya ini menyusuri jalan setapak di tengah lebatnya hutan vegetasi damar dan hutan bambu.
Manusela berasal dari kata Manu (manusia yang diumpamakan sebagai burung) dan Sela (tempat yang dicari). Secara harfiah, Manusela berarti manusia yang mencari tempat berteduh atau tempat tinggal. Terdapat sembilan marga di desa ini yakni Ilela, Lilihata, Latumutiani, Pa’ai, Eyale, Etalo, Masauna, Mahua, dan Maloy.
Manusela berada di ketinggian 870 mdpl dan berhawa sejuk. Letak rumah-rumah warga tampak teratur. Keadaan kampung terlihat rapi dan bersih. Sehari-hari, masyarakat berkomunikasi dengan bahasa setempat. Salah satu tempat yang dikeramatkan adalah kuburan tua yang dinamai Amalia Moa atau Keramat Hutan yang merupakan kuburan leluhur orang Manusela.
Jumlah jiwa yang mendiami Manusela sebanyak 386 orang atau 89 KK. Penduduknya menganut monogami sehingga dilarang bersuami atau beristri lebih dari satu. Sebanyak 80 persen penduduknya beragama Kristen Protestan, sedangkan 20 persen lainnya masih menganut agama asli leluhur.
Secara administratif, Manusela berada dalam wilayah Kecamatan Seram Utara dan merupakan desa induk yang membawahi enam dusun yakni Siatele, Miliani, Solea, Kabuhari, Selumena, dan Maraina (dimekarkan menjadi desa tahun 2010).
Secara geografis, desa ini berada di lembah yang dikelilingi gunung. Mungkin karena itulah, hawa udara di desa ini cenderung sejuk. Di sebelah utara menjulang gunung Sapaleta, selatan gunung Huale, timur gunung Amalia, dan sebelah barat gunung Murkele. Desa ini diapit dua sungai besar, Wae Ihana dan Wae Hanuai.
Salah satu kearifan lokal yang menarik dari kehidupan masyarakat pedalaman Seram ini, yakni saat akan memasuki Manusela, pada kiri-kanan jalan setapak tumbuh rimbunan pohon pisang, juga umbi-umbian. Jangan ragu untuk memetik buahnya, sebab tanaman itu bukanlah kebun masyarakat, namun dibiarkan tumbuh untuk siapa saja yang melintasi jalur tersebut boleh mengambil hasilnya. Biasanya, tanaman-tanaman itu menjadi bekal bagi mereka yang akan melakukan perjalanan, termasuk para pendaki Gunung Binaya.
Jejeran pohon raksasa banyak tumbuh di kiri-kanan jalan setapak ketika akan memasuki Manusela. Dusun-dusun sagu, pohon damar dan meranti memayungi jalannya para penjelajah. Sungai yang mengalir dalam keadaan jernih. Hanya ketika hujan, sungai-sungai yang jinak itu berubah menjadi deras. Apabila musim penghujanan datang, masyarakat pun sulit bergerak. Kondisi ini membuat masyarakat yang tinggal di luhak Taman Nasional Manusela ini betul-betul terkungkung.
Hidup terkurung gunung dan bukit, membuat masyarakat harus hidup dari hasil ladang dan hutan. Orang Manusela memang tak perlu takut kelaparan. Hutan menyediakan hewan buruan semacam rusa, babi dan kuskus. Sungai-sungai di sekitar kampung juga menyimpang udang dan ikan air tawar.
Dalam kehidupan subsistem, sumberdaya alam di sekitar kampung mereka memang kaya. Namun di masa modern, keperluan jadi banyak. Keperluan anak-anak mereka yang harus melanjutkan sekolah di luar, mengharuskan mereka membuka ladang untuk mencari ongkos tambahan buat sekolah anak-anaknya.
Sumberdaya alam yang menjadi komuditas masyarakat Manusela adalah cokelat, damar, sagu dan rotan. Mata pencaharian penduduknya bertani dan berburu. Meskipun demikian, mereka tetap berusaha mempertahankan ekosistem alam dengan tidak membuka lahan perkebunan berskala besar. Yang penting cukup untuk makan sehari-hari dan bisa membiayai keperluan lainnya.
Manusela merupakan satu-satunya desa di jalur pendakian Jejak Binaya Adventure yang lengkap fasilitas. Meskipun demikian, satu sekolah dasar dan puskesmas di desa itu tidak berfungsi secara baik. Puskesmas-nya jarang buka untuk memberi pelayanan kesehatan bagi masyarakat karena petugasnya lebih sering di luar desa. Nasib yang sama juga menimpa sekolah dasar di desa itu.
Di Manusela, tim ekspedisi Jejak Binaya Adventure melakukan serangkaian bakti sosial. Obat-obatan bantuan Dinas Kesehatan Provinsi Maluku disalurkan ke Puskesmas Manusela. Sumbangan buku pelajaran dari Kelompok Pecinta Alam PPSWPA-KANAL Ambon dan Yayasan Horizon Holland juga diserahkan langsung ke SD YPPK Manusela. Beberapa pendaki mengisi waktu luangnya dengan mengajar para siswa yang jarang mendapat pengajaran karena minimnya tenaga guru di sana.
(penulis adalah Ketua Penyelenggara Jejak Binaya Adventure)
0 Komentar