Jakarta - Sekretaris Komisi Keadilan dan Kedamaian Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Siswantoko Pr menilai hukuman mati bagi para terpidana narkoba bukanlah kunci untuk memberantas penyebaran narkoba di negara ini.
"Apakah dengan membunuh bandar dan pengedar narkoba itu ada jaminan narkoba di negara kita akan berkurang? Jelas tidak, karena permintaan (akan narkoba) masih tinggi maka suplainya pun juga tinggi," tuturnya di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan bahwa selama negara belum mampu mempersempit pasar narkotika khususnya di kalangan anak muda, maka narkotika akan selalu ada dan menyebar luas.
"Maka yang paling penting adalah bagaimana negara ini mempersempit pasar narkoba, bagaimana anak-anak muda ini dibimbing, ditemani, dan diberi pengertian yang benar tentang bahaya narkoba." ujarnya.
Gereja Katolik sendiri secara tegas menolak hukuman mati atas siapapun dan dengan alasan apapun mengingat keyakinan iman bahwa kehidupan merupakan milik Tuhan, maka hanya Tuhan yang berhak mencabut hak hidup seseorang.
Untuk itu, kata Romo, gereja mengusulkan agar para terpidana narkoba tidak dihukum mati melainkan dihukum seumur hidup tanpa ada remisi dan grasi dengan harapan atas hukuman tersebut para terpidana dapat memperoleh edukasi dan mendapat efek jera.
"Dengan demikian lembaga pemasyarakatan (LP) bisa benar-benar menjalankan fungsinya untuk mengembalikan orang-orang dengan perilaku menyimpang agar kembali ke norma-norma kemasyarakatan," katanya.
Terkait dengan terpidana narkoba asal Filipina, Mary Jane, pihaknya menilai bahwa hukuman mati tidak seharusnya dijatuhkan padanya mengingat ia hanya berperan sebagai kurir, bukan bandar.
"Dia kan hanya dititipi (narkoba) dari Malaysia, tapi sekarang malah berhadapan dengan hukuman mati," ujar pria yang akrab disapa Romo Koko itu.
Ia pun dalam waktu dekat akan mengirim surat kepada Presiden Jokowi dengan tujuan mengetuk hati orang nomor satu di Indonesia itu untuk meringankan hukuman Mary.
"Setelah grasi dan PK ditolak, kami akan mencoba mengangkat sisi kemanusiaan yaitu bahwa Mary merupakan ibu atas dua anak yang masih kecil-kecil. Kita juga harus memikirkan bagaimana nasib kedua anak itu bila harus tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu," tuturnya.
Mary Jane Fiesta Veloso yang terlibat kasus penyelundupan 2,6 kilogram heroin di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta, merupakan salah satu terpidana mati yang akan segera dieksekusi oleh Kejaksaan Agung.
Terpidana mati asal Filipina yang menghuni Lapas Wirogunan, DIY itu pun mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Sleman setelah grasinya ditolak oleh Presiden Joko Widodo.
Akan tetapi, Mahkamah Agung menolak PK yang diajukan oleh Mary Jane.
Oleh karena itu, Kejaksaan Agung akan segera memindahkan Mary Jane dari Lapas Wirogunan ke Pulau Nusakambangan untuk menunggu pelaksanaan eksekusi hukuman mati.
Eksekusi mati atas Mary akan dilaksanakan setelah penyelenggaraan KTT Asia Afrika ke-60 pada 19-24 April mendatang. (ant/bm 10)
"Apakah dengan membunuh bandar dan pengedar narkoba itu ada jaminan narkoba di negara kita akan berkurang? Jelas tidak, karena permintaan (akan narkoba) masih tinggi maka suplainya pun juga tinggi," tuturnya di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan bahwa selama negara belum mampu mempersempit pasar narkotika khususnya di kalangan anak muda, maka narkotika akan selalu ada dan menyebar luas.
"Maka yang paling penting adalah bagaimana negara ini mempersempit pasar narkoba, bagaimana anak-anak muda ini dibimbing, ditemani, dan diberi pengertian yang benar tentang bahaya narkoba." ujarnya.
Gereja Katolik sendiri secara tegas menolak hukuman mati atas siapapun dan dengan alasan apapun mengingat keyakinan iman bahwa kehidupan merupakan milik Tuhan, maka hanya Tuhan yang berhak mencabut hak hidup seseorang.
Untuk itu, kata Romo, gereja mengusulkan agar para terpidana narkoba tidak dihukum mati melainkan dihukum seumur hidup tanpa ada remisi dan grasi dengan harapan atas hukuman tersebut para terpidana dapat memperoleh edukasi dan mendapat efek jera.
"Dengan demikian lembaga pemasyarakatan (LP) bisa benar-benar menjalankan fungsinya untuk mengembalikan orang-orang dengan perilaku menyimpang agar kembali ke norma-norma kemasyarakatan," katanya.
Terkait dengan terpidana narkoba asal Filipina, Mary Jane, pihaknya menilai bahwa hukuman mati tidak seharusnya dijatuhkan padanya mengingat ia hanya berperan sebagai kurir, bukan bandar.
"Dia kan hanya dititipi (narkoba) dari Malaysia, tapi sekarang malah berhadapan dengan hukuman mati," ujar pria yang akrab disapa Romo Koko itu.
Ia pun dalam waktu dekat akan mengirim surat kepada Presiden Jokowi dengan tujuan mengetuk hati orang nomor satu di Indonesia itu untuk meringankan hukuman Mary.
"Setelah grasi dan PK ditolak, kami akan mencoba mengangkat sisi kemanusiaan yaitu bahwa Mary merupakan ibu atas dua anak yang masih kecil-kecil. Kita juga harus memikirkan bagaimana nasib kedua anak itu bila harus tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu," tuturnya.
Mary Jane Fiesta Veloso yang terlibat kasus penyelundupan 2,6 kilogram heroin di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta, merupakan salah satu terpidana mati yang akan segera dieksekusi oleh Kejaksaan Agung.
Terpidana mati asal Filipina yang menghuni Lapas Wirogunan, DIY itu pun mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Sleman setelah grasinya ditolak oleh Presiden Joko Widodo.
Akan tetapi, Mahkamah Agung menolak PK yang diajukan oleh Mary Jane.
Oleh karena itu, Kejaksaan Agung akan segera memindahkan Mary Jane dari Lapas Wirogunan ke Pulau Nusakambangan untuk menunggu pelaksanaan eksekusi hukuman mati.
Eksekusi mati atas Mary akan dilaksanakan setelah penyelenggaraan KTT Asia Afrika ke-60 pada 19-24 April mendatang. (ant/bm 10)
0 Komentar