Random Posts

header ads

Legislator: Politik Uang di Pilkada Sulit Dihilangkan

Ternate - Legislator Partai Demokrat di DPR-RI Nita Budi Susanti mengatakan, praktik politik uang dalam pelaksanaan pemilihan kepada daerah (Pilkada) sulit dihilangkan, karena masyarakat ikut berperan atas terjadinya praktek itu.

"Calon kepala daerah akan melakukan segala cara untuk meraih kemenangan, termasuk melalui praktik politik uang seperti selama ini sering terjadi dalam setiap pelaksanaan pilkada," kata Nita Budi Susanti yang juga permaisuri sultan Ternate itu di Ternate, Jumat.

Terjadinya praktek politik uang itu, menurut dia, tidak terlepas dari peran masyarakat yang justru terlihat proaktif mendorong calon kepada daerah untuk melakukan praktik politik uang, terutama saat menjelang pemungutan suara.

Anggota Komisi II itu mencontohkan dalam pelaksanaan Pilkada Malut putaran kedua tanggal 31 Oktober 2013, ada masyarakat di daerah ini yang justru secara terang-terangan mendorong calon kepala daerah memberikan uang dengan cara memasang spanduk yang bunyinya bahwa siap menerima "serangan fajar" (uang) menjelang hari H pemungutan suara.

Selama ini, selalu menyalahkan calon kepala daerah yang melakukan praktik politik uang, padahal praktik itu terjadi karena perilaku masyarakat sendiri yang justru sangat mengharapkan adanya praktik itu, bahkan sepertinya telah menjadi kebiasaan dalam setiap pelaksanaan pilkada," katanya.

Menurut Nita Budi Susanti, untuk menghilangkan politik uang tersebut tidak cukup hanya dengan menggunakan pendekatan hukum, tetapi juga melalui usaha menyadarkan masyarakat bahwa menentukan pilihan berdasarkan pada ada tidaknya pemberian uang dari calon kepada daerah, akan menimbulkan dampak negatif bagi demokrasi dan pembangunan daerah.

"Masyarakat harus diberi pemahaman bahwa memilih karena pertimbangan uang akan mengakibatkan munculnya pemimpin daerah yang terpilih bukan karena kemampuannya tapi karena uangnya," katanya.

Ia mengatakan, untuk menyadarkan masyarakat seperti itu tentu bukan hanya tugas dari KPU atau pemerintah, tetapi semua pihak terkait, seperti akademisi, tokoh adat dan tokoh agama, organisasi masyarakat dan media masa. (ant/bm 10)