Jakarta - Nama Joko Widodo ( Jokowi ) dan Prabowo Subianto tidak dimasukkan dalam survei capres yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Padahal, dalam beberapa survei sebelumnya yang dirilis lembaga lain, kedua tokoh itu menempati posisi pertama dan kedua.
Peneliti LSI, Adjie Alfaraby, membantah pihaknya sengaja 'menghilangkan' Jokowi dan Prabowo dalam survei yang hasilnya dirilis Minggu (20/10). Dia berdalih hilangnya dua nama tokoh itu adalah konsekuensi dua indikator yang dipakai.
Master komunikasi politik jebolan Universitas Indonesia (UI) ini menjelaskan dua indikator tersebut yakni: tradisi politik dan parliamentary threshold (PT).
"Dalam tradisi politik kita, dari pemilu yang sudah-sudah, yang dimajukan sebagai capres itu pimpinan struktural partai, dan tentunya yang partainya lolos aturan parliamentary threshold," papar Adjie.
Dengan alasan Jokowi bukan pimpinan struktural partai dan elektabilitas Gerindra, partai pengusung Prabowo, masih rendah, maka LSI tidak memasukkan dua tokoh itu dalam survei. "Jadi kita tidak mem-frame dari awal," dalihnya.
Penghilangan nama-nama tokoh dalam survei capres bukan kali ini terjadi. Oktober 2011 silam, Megawati Soekarnoputri juga pernah dilenyapkan dalam sigi calon pemimpin negeri.
Saat itu, hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) menunjukkan Megawati menempati urutan bawah (0,3 persen) sebagai capres 2014, di bawah Rizal Ramli, Faisal Basri, Hariman Siregar, Imam Prasodjo dan Emha Ainun Nadjib.
Bahkan survei Reform Institute hari berikutnya tidak memasukkan nama Megawati dalam capres 2014 dengan alasan yang bersangkutan telah kalah dua kali dalam Pilpres.
Padahal, survei Jaringan Suara Indonesia (JSI) yang dirilis tiga hari sebelumnya, menunjukkan Megawati berada di puncak dengan 23,8 persen, disusul Prabowo Subianto dengan 17,6 persen, kemudian Aburizal Bakrie dengan 13,7 persen.
Sama dengan Megawati yang dihilangkan karena posisinya di puncak dulu, kini Jokowi juga dilenyapkan saat dia berada di urutan teratas soal tingkat elektabilitas. Hasil survei Pusat Data Bersatu (PDB) pada 10 Oktober lalu menunjukkan elektabilitas Jokowi justru terus meroket sampai ke angka 36 persen, jauh meninggalkan Prabowo Subianto yang berada di urutan kedua dengan 6,6 persen.
Jika melihat pola penghilangan nama-nama tokoh yang sudah-sudah, target penghilangan adalah mereka yang sedang berada di atas. Mungkin pepatah 'makin tinggi pohon makin kencang anginnya' relevan dalam hal ini. (Sumber: Merdeka.com)
Peneliti LSI, Adjie Alfaraby, membantah pihaknya sengaja 'menghilangkan' Jokowi dan Prabowo dalam survei yang hasilnya dirilis Minggu (20/10). Dia berdalih hilangnya dua nama tokoh itu adalah konsekuensi dua indikator yang dipakai.
Master komunikasi politik jebolan Universitas Indonesia (UI) ini menjelaskan dua indikator tersebut yakni: tradisi politik dan parliamentary threshold (PT).
"Dalam tradisi politik kita, dari pemilu yang sudah-sudah, yang dimajukan sebagai capres itu pimpinan struktural partai, dan tentunya yang partainya lolos aturan parliamentary threshold," papar Adjie.
Dengan alasan Jokowi bukan pimpinan struktural partai dan elektabilitas Gerindra, partai pengusung Prabowo, masih rendah, maka LSI tidak memasukkan dua tokoh itu dalam survei. "Jadi kita tidak mem-frame dari awal," dalihnya.
Penghilangan nama-nama tokoh dalam survei capres bukan kali ini terjadi. Oktober 2011 silam, Megawati Soekarnoputri juga pernah dilenyapkan dalam sigi calon pemimpin negeri.
Saat itu, hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) menunjukkan Megawati menempati urutan bawah (0,3 persen) sebagai capres 2014, di bawah Rizal Ramli, Faisal Basri, Hariman Siregar, Imam Prasodjo dan Emha Ainun Nadjib.
Bahkan survei Reform Institute hari berikutnya tidak memasukkan nama Megawati dalam capres 2014 dengan alasan yang bersangkutan telah kalah dua kali dalam Pilpres.
Padahal, survei Jaringan Suara Indonesia (JSI) yang dirilis tiga hari sebelumnya, menunjukkan Megawati berada di puncak dengan 23,8 persen, disusul Prabowo Subianto dengan 17,6 persen, kemudian Aburizal Bakrie dengan 13,7 persen.
Sama dengan Megawati yang dihilangkan karena posisinya di puncak dulu, kini Jokowi juga dilenyapkan saat dia berada di urutan teratas soal tingkat elektabilitas. Hasil survei Pusat Data Bersatu (PDB) pada 10 Oktober lalu menunjukkan elektabilitas Jokowi justru terus meroket sampai ke angka 36 persen, jauh meninggalkan Prabowo Subianto yang berada di urutan kedua dengan 6,6 persen.
Jika melihat pola penghilangan nama-nama tokoh yang sudah-sudah, target penghilangan adalah mereka yang sedang berada di atas. Mungkin pepatah 'makin tinggi pohon makin kencang anginnya' relevan dalam hal ini. (Sumber: Merdeka.com)