Random Posts

header ads

Terancam ditendang dari Indonesia, Freeport lobi pemerintah

Jakarta - Tambang emas dan perak terbesar di dunia yang berada di Papua dan dikelola sepenuhnya oleh PT Freeport Indonesia sejak 1967. Hingga saat ini, keberadaannya dinilai tidak memberi keuntungan yang besar untuk Indonesia dan masyarakat Papua. Padahal seharusnya tambang emas tersebut bisa mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia dengan cadangan emas yang sangat banyak.

Tapi nyatanya, setoran ke negara dan Papua minim. Keuntungan besar dinikmati Freeport dari hasil menjual bahan mentah, tanpa melalui proses pengolahan di dalam negeri. Padahal, jika melalui proses pengolahan di dalam negeri, akan sedikit memberi keuntungan bagi negara dan rakyat Papua.

Pemerintah pun mengharuskan perusahaan pertambangan membangun pabrik pengolahan. Namun masih belum sepenuhnya dipatuhi. Masih banyak perusahaan tambang yang enggan membangun pabrik pemurnian dan pengolahan mineral atau smelter. Salah satunya Freeport.

Pemerintah telah mewajibkan perusahaan tambang untuk membangun pabrik pengolahan atau smelter pada 2014. Ini sesuai amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara. Jika membandel, pemerintah berjanji bersikap tegas dengan memaksa perusahaan berhenti produksi.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menebar ancaman. Dia mengatakan, apabila perusahaan-perusahaan tambang tidak membangun smelter, maka pemerintah akan memaksa perusahaan tambang untuk berhenti produksi.

"Yang tidak bikin smelter silakan tutup saja produksinya," ujar dia yang di temui di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, Rabu (31/7).

Tak lama setelah ancaman itu keluar, Freeport menyatakan ingin tetap berada di Indonesia. Dengan alih-alih setuju atas dua butir kesepakatan dalam renegosiasi kontrak karya, Freeport mencoba merayu pemerintah agar diberi keringanan atau dispensasi.

Utamanya menyangkut kewajiban membangun pabrik pengolahan di dalam negeri. Selama ini Freeport keberatan membangun pabrik smelter dan mengolah hasil tambang di dalam negeri dengan alasan tidak menguntungkan atau cenderung merugikan Freeport.

Perusahaan yang berinduk di Amerika Serikat menggandeng dua perusahaan swasta lain untuk mengolah biji emas dan tembaga mereka. Presiden Direktur Freeport Indonesia Rozik B. Soetjipto mengaku belum bisa melakukannya 100 persen di dalam negeri, sehingga mustahil memenuhi aturan UU Nomor 4 Tahun 2009.

pihaknya beberapa tahun lalu sudah menanamkan saham di PT Smelting, berlokasi di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Perusahaan ini mengolah 30 persen bahan baku tembaga dan emas mereka. Rencananya 60 persen lagi akan dipasok ke dua mitra tersebut.

"Saya rasa ini menunjukkan komitmen untuk mendukung kebijakan pemerintah. Namun, tentu tidak bisa langsung 100 persen seluruhnya diolah dalam negeri, jadi kami minta bantuan pemerintah apakah ada dispensasi atau semacamnya," kata Rozik dalam acara penandatangan kerja sama di Jakarta, Selasa (13/8).

Kewajiban mengolah hasil tambang di dalam negeri seolah menjadi batu sandungan sekaligus ganjalan bagi Freeport meraup keuntungan besar dari cadangan emas di Papua. Permintaan dispensasi tersebut sebagai bargaining setelah Freeport setuju bakal mendivestasikan sahamnya, melakukan IPO, dan memperluas lahan. Sebagai persetujuan perundingan soal divestasi, maka Rozik berharap pemerintah memberi keleluasaan soal ekspor yang tak harus sepenuhnya hasil olahan dalam negeri.

"(Dispensasi) bagian dari package perundingan. Kita mohonkanlah satu, ya itu dispensasi (ekspor) tadi," cetusnya.

Pemerintah tetap meminta Freeport Indonesia untuk mengolah seluruh hasil tambangnya dengan membangun smelter di dalam negeri selambat-lambatnya 2014. Ini menjadi salah satu syarat mutlak dalam UU Nomor 4/2009 tentang mineral dan batu bara yang harus dipenuhi Freeport jika ingin terus beroperasi di Tanah Air.

Direktur Pengolahan Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Dede Suhendra menyatakan, tidak ada alasan bagi Freeport untuk menunda membangun pabrik pengolahan atau smelter hasil tambangnya. Soalnya, pemerintah sudah memberikan cukup waktu bagi setiap perusahaan tambang, termasuk Freeport, untuk membangun smelter.

"Ini sudah ada aturannya, harus dilakukan pemurnian hasil tambang. Terbitnya Keputusan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 itu untuk memberikan waktu toleransi selama dua tahun bagi perusahaan tambang," kata Dede.

Diakui Dede, dirinya merasa heran jika Freeport saat ini merasa keberatan dengan kewajiban membangun smelter di dalam negeri. Soalnya, Freeport juga terlibat dalam pembahasan UU Minerba di DPR empat tahun lalu.

"Aturan ini sudah melalui suatu kajian dan tentu DPR juga sudah mengundang perusahaan. Jadi 2014 adalah pelaksanaan UU tersebut yang tidak dapat dimundurkan lagi," tegasnya.

Kendati demikian, Kementerian ESDM tidak menutup kemungkinan untuk memberikan keringanan bagi Freeport. Ini tergantung kepada hasil evaluasi dari Badan Litbang Kementerian ESDM terkait dampak pelaksanaan hilirisasi pada 2014 terhadap produksi dan ekspor bahan tambang.

Apakah pemerintah akan tunduk lagi di bawah kepentingan Freeport dengan memberi dispensasi ke perusahaan yang selama ini telah menjadi mesin uang bagi induk usahanya di AS? (Sumber: Merdeka.com)