KINERJA pemerintah dalam mengembangkan industri hulu dinilai masih sangat lemah saat ini. Padahal, pengembangannya penting dalam kerangka mengelola kekayaan alam yang melimpah di Indonesia.
Imbas dari industri hulu yang belum maksimal, kekayaan alam Indonesia malah memperkaya negara asing yang berani mengeluarkan modal untuk investasi. Ketua Tim Kerja RUU Perindustrian Kadin, Rauf Purnama mengatakan, banyak negara yang makmur dari sumber daya alam Indonesia.
Salah satunya adalah perusahaan AS Freeport-McMoRan yang menguasai tambang emas di Papua. "Kami melalui Kadin ini ingin membangun industri hulu yang kuat untuk memakmurkan Indonesia. Mereka (negara lain) tidak punya SDA tapi makmur (dari Indonesia)," ucap Rauf dalam diskusi Kadin di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (24/6).
Dia mengambil contoh negara lain seperti Korea, Jepang, Taiwan, China berlomba-lomba membangun industri hulu. Untuk mengembangkan industri, negara-negara tersebut terlebih dahulu menguasai industri hilir.
"Memang terus terang industri hulu kita lemah, perhatian pemerintah masih kurang. Kita lihat Korea, Jepang, Taiwan China memang mereka hilir dulu seperti sepatu, tekstil dulu, kalau sudah kuat langsung ke industri hulu," jelasnya.
Diakuinya, pengembangan industri hulu tidak semudah membalik telapak tangan. Untuk beranjak dan mengembangkan industri hulu diperlukan modal yang besar. Negara lain mengalokasikan dana yang besar untuk investasi di bidang hulu.
"Ke depan kita juga akan begitu, perindustrian itu harus di huluisasi," katanya.
Di tempat yang sama Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, pihaknya akan mengeluarkan mekanisme pembiayaan investasi yang baru atau Lembaga Souverign Wealth Fund (SWF) sebagai solusi pembiayaan investasi di Indonesia.
Sovereign Wealth Funds (SWF) merupakan topik baru untuk Indonesia. SWF adalah kendaraan finansial yang dimiliki oleh negara yang memiliki atau mengatur dana publik dan menginvestasikannya ke aset-aset yang luas dan beragam.
"SWF memilki fungsi stabilitas, investasi, dan tabungan," kata Bambang.
SWF bisa disebut semacam tabungan negara yang diinvestasikan untuk tujuan pengambilan investasi. Suber dana SWF berasal dari hasil sumber daya yang tidak dapat diperbaharui atau minyak dan gas bumi. Namun, karena cadangan migas Indonesia terbilang kecil, maka sumber dana tersebut bisa berasal dari sektor lain.
Di Indonesia, sumber dana SWF tidak bergantung pada komoditas atau surplus ataupun cadangan devisa resmi. Pendanaannya bisa dari work closely dengan pemerintah menciptakan dana terpisah untuk menangani proyek yang berkaitan dengan infrastruktur dan lingkungan.
"Sumber dana juga bisa berupa aset keuangan, seperti saham, obligasi, properti, logam mulia, dan instrumen keuangan," jelas Bambang.
SWF diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan investasi di Indonesia. Investasi di Indonesia selama ini kurang peminat lantaran membutuhkan dana yang besar, memiliki risiko yang tinggi dengan imbal hasil investasi yang rendah seperti dalam investasi energi ramah lingkungan, infrastruktur dasar daerah dan pengelolaan fasilitas geothermal.
"Pembiayaan APBN dan Infrastruktur juga terbatas," tutupnya. (Sumber: MErdeka.com)
Imbas dari industri hulu yang belum maksimal, kekayaan alam Indonesia malah memperkaya negara asing yang berani mengeluarkan modal untuk investasi. Ketua Tim Kerja RUU Perindustrian Kadin, Rauf Purnama mengatakan, banyak negara yang makmur dari sumber daya alam Indonesia.
Salah satunya adalah perusahaan AS Freeport-McMoRan yang menguasai tambang emas di Papua. "Kami melalui Kadin ini ingin membangun industri hulu yang kuat untuk memakmurkan Indonesia. Mereka (negara lain) tidak punya SDA tapi makmur (dari Indonesia)," ucap Rauf dalam diskusi Kadin di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (24/6).
Dia mengambil contoh negara lain seperti Korea, Jepang, Taiwan, China berlomba-lomba membangun industri hulu. Untuk mengembangkan industri, negara-negara tersebut terlebih dahulu menguasai industri hilir.
"Memang terus terang industri hulu kita lemah, perhatian pemerintah masih kurang. Kita lihat Korea, Jepang, Taiwan China memang mereka hilir dulu seperti sepatu, tekstil dulu, kalau sudah kuat langsung ke industri hulu," jelasnya.
Diakuinya, pengembangan industri hulu tidak semudah membalik telapak tangan. Untuk beranjak dan mengembangkan industri hulu diperlukan modal yang besar. Negara lain mengalokasikan dana yang besar untuk investasi di bidang hulu.
"Ke depan kita juga akan begitu, perindustrian itu harus di huluisasi," katanya.
Di tempat yang sama Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, pihaknya akan mengeluarkan mekanisme pembiayaan investasi yang baru atau Lembaga Souverign Wealth Fund (SWF) sebagai solusi pembiayaan investasi di Indonesia.
Sovereign Wealth Funds (SWF) merupakan topik baru untuk Indonesia. SWF adalah kendaraan finansial yang dimiliki oleh negara yang memiliki atau mengatur dana publik dan menginvestasikannya ke aset-aset yang luas dan beragam.
"SWF memilki fungsi stabilitas, investasi, dan tabungan," kata Bambang.
SWF bisa disebut semacam tabungan negara yang diinvestasikan untuk tujuan pengambilan investasi. Suber dana SWF berasal dari hasil sumber daya yang tidak dapat diperbaharui atau minyak dan gas bumi. Namun, karena cadangan migas Indonesia terbilang kecil, maka sumber dana tersebut bisa berasal dari sektor lain.
Di Indonesia, sumber dana SWF tidak bergantung pada komoditas atau surplus ataupun cadangan devisa resmi. Pendanaannya bisa dari work closely dengan pemerintah menciptakan dana terpisah untuk menangani proyek yang berkaitan dengan infrastruktur dan lingkungan.
"Sumber dana juga bisa berupa aset keuangan, seperti saham, obligasi, properti, logam mulia, dan instrumen keuangan," jelas Bambang.
SWF diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan investasi di Indonesia. Investasi di Indonesia selama ini kurang peminat lantaran membutuhkan dana yang besar, memiliki risiko yang tinggi dengan imbal hasil investasi yang rendah seperti dalam investasi energi ramah lingkungan, infrastruktur dasar daerah dan pengelolaan fasilitas geothermal.
"Pembiayaan APBN dan Infrastruktur juga terbatas," tutupnya. (Sumber: MErdeka.com)