KISAH tak jauh berbeda keluar dari Ning (15), remaja lainnya yang sering mencari hidung belang di kawasan CNI atau Puri Kembangan. Dia menganggap, menjual diri menjadi pilihan terbaiknya, setidaknya untuk saat ini.
Dia letih menjadi anak jalanan; mengamen dan mengharapkan bantuan dari sesama anak jalanan lainnya. Sebagai salah satu perempuan di sebuah geng anak jalanan, ia malu kalau terus-menerus menjadi benalu.
"Saya butuh makan, butuh hidup. Uang dari hasil mengamen bersama teman-teman biasanya buat mabuk. Saya capek jadi anak jalanan," katanya.
Belum lagi Ning sering mendapat tindakan asusila dari sesama anak jalanan. Ia trauma, sungguh. Pernah ia mencoba keluar dari komunitas anak jalanan, tapi ia berpikir mau kemana dia. Sementara, dia sejak dua tahun lalu memutuskan pergi dari rumah karena berbeda pendapat dengan keluarganya.
"Ya mungkin saat ini yang terbaik ya kayak gini," katanya, pasrah. Sama dengan beberapa cabe-cabean lainnya, Ning tidak terlalu memikirkan soal tarif. Apalagi dia sadar, diantara puluhan cabe-cabean lainnya, ia kalah cantik. Ia biasanya hanya menjadi pilihan ke-sekian dari para remaja hidung belang. "Berapapun mau. Asal bisa dapat uang," katanya.
Mendengar kisah Ning selanjutnya, miris. Karena tak terlalu cantik, Ning biasanya justru menjadi sasaran remaja pria berkantong tipis. Remaja itu memilih Ning, karena mereka bisa memberi uang berapapun. Bahkan layanan seks Ning seringkali dilakukan di kebun kosong. "Kadang malah pada pergi begitu saja setelah kencan. Mereka itu yang pada nggak punya duit, mabuk dan pengen bercinta," katanya.
Ning menjelaskan, dirinya dan cabe-cabean lainnya sebenarnya sangat paham dengan kondisi pelanggannya. "Mereka bawa duitnya nggak banyak. Jadi kita mau meskipun bercinta di kebun atau bangunan-bangunan kosong. Jadi, sekali main, setelah itu balik lagi ke kawasan CNI," ungkapnya. (sumber: TRIBUNNEWS.COM)
Dia letih menjadi anak jalanan; mengamen dan mengharapkan bantuan dari sesama anak jalanan lainnya. Sebagai salah satu perempuan di sebuah geng anak jalanan, ia malu kalau terus-menerus menjadi benalu.
"Saya butuh makan, butuh hidup. Uang dari hasil mengamen bersama teman-teman biasanya buat mabuk. Saya capek jadi anak jalanan," katanya.
Belum lagi Ning sering mendapat tindakan asusila dari sesama anak jalanan. Ia trauma, sungguh. Pernah ia mencoba keluar dari komunitas anak jalanan, tapi ia berpikir mau kemana dia. Sementara, dia sejak dua tahun lalu memutuskan pergi dari rumah karena berbeda pendapat dengan keluarganya.
"Ya mungkin saat ini yang terbaik ya kayak gini," katanya, pasrah. Sama dengan beberapa cabe-cabean lainnya, Ning tidak terlalu memikirkan soal tarif. Apalagi dia sadar, diantara puluhan cabe-cabean lainnya, ia kalah cantik. Ia biasanya hanya menjadi pilihan ke-sekian dari para remaja hidung belang. "Berapapun mau. Asal bisa dapat uang," katanya.
Mendengar kisah Ning selanjutnya, miris. Karena tak terlalu cantik, Ning biasanya justru menjadi sasaran remaja pria berkantong tipis. Remaja itu memilih Ning, karena mereka bisa memberi uang berapapun. Bahkan layanan seks Ning seringkali dilakukan di kebun kosong. "Kadang malah pada pergi begitu saja setelah kencan. Mereka itu yang pada nggak punya duit, mabuk dan pengen bercinta," katanya.
Ning menjelaskan, dirinya dan cabe-cabean lainnya sebenarnya sangat paham dengan kondisi pelanggannya. "Mereka bawa duitnya nggak banyak. Jadi kita mau meskipun bercinta di kebun atau bangunan-bangunan kosong. Jadi, sekali main, setelah itu balik lagi ke kawasan CNI," ungkapnya. (sumber: TRIBUNNEWS.COM)