Jakarta - Keterangan LSM Ahok Center dalam pengelolaan maupun pengawasan dana CSR memang patut dipertanyakan. Kebiasaan di Indonesia, ketika seorang pemimpin terpilih dalam proses secara langsung, maka tim sukses atau relawan merasa berjasa.
Mereka akan menunggu giliran mendapat 'jatah' dalam pengelolaan uang negara maupun kepentingan-kepentingan lainnya. Mereka bahkan rela menunggu sebulan, tiga bulan, enam bulan, hingga bertahun-tahun untuk mendapat semacam jasa ini.
Pasangan Jokowi-Ahok kan sudah hampir setahun menjabat. Selama ini, mereka selalu menjadi role model atau contoh pemerintahan yang bersih. Sudah seharusnya keduanya melakukan kebijakan yang profesional.
Nama sebuah LSM, seperti Ahok Center, itu sangat identik dan bisa dikesankan sebagai 'jualan'. Saya sarankan tidak ada lagi nama-nama seperti itu karena pasangan ini sudah menjadi milik warga Jakarta. Jokowi dan Ahok seharusnya bisa menggunakan institusi formal di Pemprov DKI untuk melakukan semua programnya.
Pemprov DKI banyak memiliki SKPD yang kemampuannya sangat baik. Jika memang harus menggandeng pihak luar, lakukan dengan cara yang benar. Sebab jasa konsultan, pengawasan atau apapun juga termasuk yang dilelang, bukan ditunjuk langsung. Apalahi menggunakan anggaran negara.
Kalau LSM itu mengawasi dan mendapat uang dari milik pemerinah, maka harus mendapatkannya dengan cara yang benar. Jangan sampai profesionalisme dan akuntabilitas pasangan ini hancur karena LSM bentukan mereka sendiri.
Relawan ini kan banyak, kalau satu diakomodir, maka yang lainnya juga akan minta diakomodir. Mereka menunggu dan menagih hal yang sama.
Apakah Jokowi-Ahok bisa menangani kemungkinan bola salju penagih tim sukses ini? Seharusnya pemilihan pihak luar untuk mengawasi program pemerintahan dilakukan dengan transparan hingga tidak muncul tuduhan-tuduhan seperti kolusi, kekerabatan dan faktor suka tidak suka.
Jika LSM atau pihak-pihak yang merasa berjasa dalam pemenangan Jokowi-Ahok terus menerus diakomodir kepentingan mereka pribadi, maka hujan kritik akan terus mendatangai Jokowi-Ahok. Kalau memang LSM itu mampu profesional, mungkin tidak masalah. Namun, apakah mereka benar-benar profesional? Jangan-jangan yang sudah jelas-jelas tidak mumpuni malah ditunjuk. Itu indikasi jelas nepotisme. (Sumber: Tribunnews.com)
Mereka akan menunggu giliran mendapat 'jatah' dalam pengelolaan uang negara maupun kepentingan-kepentingan lainnya. Mereka bahkan rela menunggu sebulan, tiga bulan, enam bulan, hingga bertahun-tahun untuk mendapat semacam jasa ini.
Pasangan Jokowi-Ahok kan sudah hampir setahun menjabat. Selama ini, mereka selalu menjadi role model atau contoh pemerintahan yang bersih. Sudah seharusnya keduanya melakukan kebijakan yang profesional.
Nama sebuah LSM, seperti Ahok Center, itu sangat identik dan bisa dikesankan sebagai 'jualan'. Saya sarankan tidak ada lagi nama-nama seperti itu karena pasangan ini sudah menjadi milik warga Jakarta. Jokowi dan Ahok seharusnya bisa menggunakan institusi formal di Pemprov DKI untuk melakukan semua programnya.
Pemprov DKI banyak memiliki SKPD yang kemampuannya sangat baik. Jika memang harus menggandeng pihak luar, lakukan dengan cara yang benar. Sebab jasa konsultan, pengawasan atau apapun juga termasuk yang dilelang, bukan ditunjuk langsung. Apalahi menggunakan anggaran negara.
Kalau LSM itu mengawasi dan mendapat uang dari milik pemerinah, maka harus mendapatkannya dengan cara yang benar. Jangan sampai profesionalisme dan akuntabilitas pasangan ini hancur karena LSM bentukan mereka sendiri.
Relawan ini kan banyak, kalau satu diakomodir, maka yang lainnya juga akan minta diakomodir. Mereka menunggu dan menagih hal yang sama.
Apakah Jokowi-Ahok bisa menangani kemungkinan bola salju penagih tim sukses ini? Seharusnya pemilihan pihak luar untuk mengawasi program pemerintahan dilakukan dengan transparan hingga tidak muncul tuduhan-tuduhan seperti kolusi, kekerabatan dan faktor suka tidak suka.
Jika LSM atau pihak-pihak yang merasa berjasa dalam pemenangan Jokowi-Ahok terus menerus diakomodir kepentingan mereka pribadi, maka hujan kritik akan terus mendatangai Jokowi-Ahok. Kalau memang LSM itu mampu profesional, mungkin tidak masalah. Namun, apakah mereka benar-benar profesional? Jangan-jangan yang sudah jelas-jelas tidak mumpuni malah ditunjuk. Itu indikasi jelas nepotisme. (Sumber: Tribunnews.com)