JAKARTA - Partai Persatuan Pembangunan(PPP) setuju bila harga bahan bakar minyak(BBM) dinaikkan. Alasannya, harga BBM yang murah karena mendapatkan subsidi pemerintah bisa memicu terjadinya banyak penyelundupan.
"Jika seorang oknum AIPTU saja demikian, bukankah besar kemungkinan banyak lagi oknum lainnya," ujar Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), M. Romahurmuziy kepada Tribunnews, Selasa(4/6/2013).
Pria yang akrab disapa Romy ini menilai harga BBM bersubsidi memang harus naik. Pertama, karena harga BBM bersubsidi Rp 4.500 terlalu murah. Harga ini jauh berbeda dengan harga BBM industri yg mencapai Rp 9.300.
Bahkan, harga BBM Indonesia juga termurah di kawasan Asean. Bandingkan Rp 4.500 di Indonesia (Ron 90), misalnya dengan Vietnam (RON 92) Rp 15.553; laos Rp 13.396; kamboja Rp 13.298; Myanmar 10.340 (Agustini, Sindo 4/6/13).
"Bahkan harga BBM bersubsidi Indonesia adalah yang termurah di dunia untuk ukuran negara net importir," kata Romy.
Kuota BBM bersubsidi yang ditetapkan DPR bersama pemerintah lanjut Romy setiap tahunnya selalu terlampaui. Itu berarti pertumbuhan tingkat konsumsi BBM bersubsidi selalu melampaui prediksi pertumbuhan konsumsi berdasarkan jumlah kendaraan. Dan disinyalir jebolnya kuota ini karena penyelundupan dimana-mana.
Alasan lainnya, kenapa harga BBM harus naik menurut Romy karena harga BBM fosil yang murah, menghambat munculnya energi alternatif. Bahan bakar nabati, baik berbasis etanol maupun CPO, tidak bisa bersaing.
Bahan bakar alternatif seperti gas tidak berkesempatan tumbuh karena harganya relatif dekat dengan BBM bersubsidi.
Sejak awal dekade 2000,kata Romy Indonesia telah beralih status dari negara eksportir menjadi net importir minyak. Dengan importasi BBM dan minyak mentah yang mencapai lebih sepertiga dari kebutuhan nasional, harga BBM nasional sangat bergantung kepada harga internasional.
Karena itu, publik perlu diberikan pemahaman bahwa perlu pergeseran paradigma dalam meletakkan Indonesia dari eksportir menjadi importir. Akibat impor BBM yang terus naik, defisit fiskal membengkak sehingga mengancam neraca pembayaran.
Lebih jauh Romy menjelaskan subsidi BBM yang berlangsung selama ini tidak sesuai ketentuan UU 30/2007 tentang Energi khususnya Pasal 7 ayat (2). Selama ini subsidi BBM dinikmati lebih 70 persen kelas menengah pemilik mobil pribadi dan sepeda motor bersilinder tinggi.
"Pengurangan subsidi BBM yang disertai kompensasi kepada masyarakat golongan ekonomi terlemah dimaksudkan untuk membenahi subsidi yang salah sasaran itu," ujarnya.
Selain itu, seperlima APBN tersedot untuk subsidi energi yang bersifat konsumtif. Ruang gerak belanja negara untuk sektor produktif yang lebih bersifat jangka panjang menjadi terbatas.
Akibatnya daya saing yang tercipta di pasar internasional semu, didominasi oleh produk mentah yang mengandalkan buruh murah dan harga energi yang murah. Padahal murahnya harga energi karena disubsidi.
"Dengan sejumlah alasan tersebut, rasionalisasi kenaikan harga BBM bersubsidi adalah untuk kemaslahatan anak cucu kita,"ujarnya. (Sumber: Tribunnews.com)
"Jika seorang oknum AIPTU saja demikian, bukankah besar kemungkinan banyak lagi oknum lainnya," ujar Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), M. Romahurmuziy kepada Tribunnews, Selasa(4/6/2013).
Pria yang akrab disapa Romy ini menilai harga BBM bersubsidi memang harus naik. Pertama, karena harga BBM bersubsidi Rp 4.500 terlalu murah. Harga ini jauh berbeda dengan harga BBM industri yg mencapai Rp 9.300.
Bahkan, harga BBM Indonesia juga termurah di kawasan Asean. Bandingkan Rp 4.500 di Indonesia (Ron 90), misalnya dengan Vietnam (RON 92) Rp 15.553; laos Rp 13.396; kamboja Rp 13.298; Myanmar 10.340 (Agustini, Sindo 4/6/13).
"Bahkan harga BBM bersubsidi Indonesia adalah yang termurah di dunia untuk ukuran negara net importir," kata Romy.
Kuota BBM bersubsidi yang ditetapkan DPR bersama pemerintah lanjut Romy setiap tahunnya selalu terlampaui. Itu berarti pertumbuhan tingkat konsumsi BBM bersubsidi selalu melampaui prediksi pertumbuhan konsumsi berdasarkan jumlah kendaraan. Dan disinyalir jebolnya kuota ini karena penyelundupan dimana-mana.
Alasan lainnya, kenapa harga BBM harus naik menurut Romy karena harga BBM fosil yang murah, menghambat munculnya energi alternatif. Bahan bakar nabati, baik berbasis etanol maupun CPO, tidak bisa bersaing.
Bahan bakar alternatif seperti gas tidak berkesempatan tumbuh karena harganya relatif dekat dengan BBM bersubsidi.
Sejak awal dekade 2000,kata Romy Indonesia telah beralih status dari negara eksportir menjadi net importir minyak. Dengan importasi BBM dan minyak mentah yang mencapai lebih sepertiga dari kebutuhan nasional, harga BBM nasional sangat bergantung kepada harga internasional.
Karena itu, publik perlu diberikan pemahaman bahwa perlu pergeseran paradigma dalam meletakkan Indonesia dari eksportir menjadi importir. Akibat impor BBM yang terus naik, defisit fiskal membengkak sehingga mengancam neraca pembayaran.
Lebih jauh Romy menjelaskan subsidi BBM yang berlangsung selama ini tidak sesuai ketentuan UU 30/2007 tentang Energi khususnya Pasal 7 ayat (2). Selama ini subsidi BBM dinikmati lebih 70 persen kelas menengah pemilik mobil pribadi dan sepeda motor bersilinder tinggi.
"Pengurangan subsidi BBM yang disertai kompensasi kepada masyarakat golongan ekonomi terlemah dimaksudkan untuk membenahi subsidi yang salah sasaran itu," ujarnya.
Selain itu, seperlima APBN tersedot untuk subsidi energi yang bersifat konsumtif. Ruang gerak belanja negara untuk sektor produktif yang lebih bersifat jangka panjang menjadi terbatas.
Akibatnya daya saing yang tercipta di pasar internasional semu, didominasi oleh produk mentah yang mengandalkan buruh murah dan harga energi yang murah. Padahal murahnya harga energi karena disubsidi.
"Dengan sejumlah alasan tersebut, rasionalisasi kenaikan harga BBM bersubsidi adalah untuk kemaslahatan anak cucu kita,"ujarnya. (Sumber: Tribunnews.com)