GURU Besar Emeritus Hukum Pidana Universitas Airlangga Profesor J.E. Sahetapy menandaskan untuk menegakan supremasi hukum, praktis harus dimulai dari komitmen para pejabat penegak hukum di level atas.
Logikanya sederhana, ketika manusia mandi lazimnya dia lebih dulu membersihkan kepala sebelum turun membasuh kaki.Sejurus dengan itu, ikan yang membusuk pun dimulai dari kepalanya.
Ringkasnya penegakan supremasi hukum harus dimulai dari internal institusi (lembaga) penegak hukum. Sebab, bagaimana bisa penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya kalau di dalam institusi kehakiman, kejaksaan, dan kepolisian masih kotor. Mental para penegak hukum pun masih korup.
Maraknya mafia peradilan menyebabkan hukum di Indonesia dianalogikan bak ’’sarang labah-labah’’. Maksudnya, yang bisa dijerat hanya kalangan nyamuk yang usil, sementara ’’tikus-tikus got’’ alias para koruptor bebas berkeliaran karena mudah melepaskan diri dari jeratan hukum. Uang, kekuasaan, dan bahkan wanita (gratifikasi seks) acap kali menjadi penyakit dalam penegakan hukum.
Di tubuh kepolisian lain lagi. Kebijakan pemerintah untuk memberikan tunjangan atas kinerja aparat penegak hukum dana abdi Negara (remunerasi), justru jauh panggang dari api. Tugas polisi sebagai pengayom, pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) hanya slogan mati, nirmakna. Aturan normative itu tak berjalan sebagaima mestinya karena polisi suka ’mencari makan’ di dalam hal-hal yang semestinya menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) mereka sebagai alat Negara untuk menjaga kamtibmas. Ironis memang ketika pihak kepolisian mematok anggaran antara Rp 25-32 miliar untuk biaya pengamanan pemilihan gubernur Maluku periode 2013-2018 pada 11 Juni nanti.
Untuk apa dan sejauh mana tugas utama kepolisian dikaitkan dengan usulan anggaran sebesar itu? Kita menjadi semacam negeri tak bertuan (antah berantah). Untuk apa ada alat Negara yang punya ’’job descriptionnya’’ menjaga kamtibmas tapi ternyata tak ada jaminan sahih mereka. Kita masuk Negara gagal karena karakter para pejabat yang sudah di luar batas toleransi.
Dalam pesta politik di Maluku ada ’tawar menawar’ di balik tugas pokok penegakan Kamtibmas. Bayangkan jika uang sebanyak itu digunakan untuk kepentingan mendesak lain, mungkin Maluku tak akan tertinggal dibanding daerah lain untuk pembangunan dan pembinaan olahraga, terutama tinju, atletik, dan sepak bola. Cuma butuh anggaran sekira Rp 6 miliar bagi Persatuan Sepak Bola Ambon (PSA) agar bisa berlaga di pentas Liga Profesional Indonesia. Namun, Pemerintah Provinsi Maluku tak berani ambil keputusan seperti ini. Derita rakyat Maluku relatif terpulang sikap 45 anggota dewan di Karang Panjang. Apakah anggaran sebesar itu direspons atau tidak, tapi yang pasti Kamtibmas di Maluku telah dijadikan tawar menawar kepentingan alat-alat Negara selama lebih kurang 14 tahun terakhir.
Lebih miris lagi kalau anggaran yang kelak disetujui itu nanti hanya dinikmati para perwira sementara anak buah yang bersiaga di lapangan hanya dikasih Rp 20.000-30.000 plus sebungkus rokok setiap hari per personelnya.
Saatnya rakyat Maluku sadar untuk menciptakan kondisi kondusif sehingga pilkada berlangsung aman dan sukses. Sebab, konstelasi politik Maluku telah dijadikan lahan elite politik maupun alat-alat Negara untuk kepentingan ekonomis, politik, dan kepentingan lainnya. Kita sudah menderita bathin, jangan lagi anggaran daerah dimanfaatkan untuk kepentingan pihak lain. Hanya dengan kesadaran kolektik (bersama), orang Maluku bisa keluar dari drama kemunafikan dan angkara murka ini untuk mengadu domba kita sendiri. Orang Maluku seperti hidup di negeri antah berantah. (***)
Logikanya sederhana, ketika manusia mandi lazimnya dia lebih dulu membersihkan kepala sebelum turun membasuh kaki.Sejurus dengan itu, ikan yang membusuk pun dimulai dari kepalanya.
Ringkasnya penegakan supremasi hukum harus dimulai dari internal institusi (lembaga) penegak hukum. Sebab, bagaimana bisa penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya kalau di dalam institusi kehakiman, kejaksaan, dan kepolisian masih kotor. Mental para penegak hukum pun masih korup.
Maraknya mafia peradilan menyebabkan hukum di Indonesia dianalogikan bak ’’sarang labah-labah’’. Maksudnya, yang bisa dijerat hanya kalangan nyamuk yang usil, sementara ’’tikus-tikus got’’ alias para koruptor bebas berkeliaran karena mudah melepaskan diri dari jeratan hukum. Uang, kekuasaan, dan bahkan wanita (gratifikasi seks) acap kali menjadi penyakit dalam penegakan hukum.
Di tubuh kepolisian lain lagi. Kebijakan pemerintah untuk memberikan tunjangan atas kinerja aparat penegak hukum dana abdi Negara (remunerasi), justru jauh panggang dari api. Tugas polisi sebagai pengayom, pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) hanya slogan mati, nirmakna. Aturan normative itu tak berjalan sebagaima mestinya karena polisi suka ’mencari makan’ di dalam hal-hal yang semestinya menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) mereka sebagai alat Negara untuk menjaga kamtibmas. Ironis memang ketika pihak kepolisian mematok anggaran antara Rp 25-32 miliar untuk biaya pengamanan pemilihan gubernur Maluku periode 2013-2018 pada 11 Juni nanti.
Untuk apa dan sejauh mana tugas utama kepolisian dikaitkan dengan usulan anggaran sebesar itu? Kita menjadi semacam negeri tak bertuan (antah berantah). Untuk apa ada alat Negara yang punya ’’job descriptionnya’’ menjaga kamtibmas tapi ternyata tak ada jaminan sahih mereka. Kita masuk Negara gagal karena karakter para pejabat yang sudah di luar batas toleransi.
Dalam pesta politik di Maluku ada ’tawar menawar’ di balik tugas pokok penegakan Kamtibmas. Bayangkan jika uang sebanyak itu digunakan untuk kepentingan mendesak lain, mungkin Maluku tak akan tertinggal dibanding daerah lain untuk pembangunan dan pembinaan olahraga, terutama tinju, atletik, dan sepak bola. Cuma butuh anggaran sekira Rp 6 miliar bagi Persatuan Sepak Bola Ambon (PSA) agar bisa berlaga di pentas Liga Profesional Indonesia. Namun, Pemerintah Provinsi Maluku tak berani ambil keputusan seperti ini. Derita rakyat Maluku relatif terpulang sikap 45 anggota dewan di Karang Panjang. Apakah anggaran sebesar itu direspons atau tidak, tapi yang pasti Kamtibmas di Maluku telah dijadikan tawar menawar kepentingan alat-alat Negara selama lebih kurang 14 tahun terakhir.
Lebih miris lagi kalau anggaran yang kelak disetujui itu nanti hanya dinikmati para perwira sementara anak buah yang bersiaga di lapangan hanya dikasih Rp 20.000-30.000 plus sebungkus rokok setiap hari per personelnya.
Saatnya rakyat Maluku sadar untuk menciptakan kondisi kondusif sehingga pilkada berlangsung aman dan sukses. Sebab, konstelasi politik Maluku telah dijadikan lahan elite politik maupun alat-alat Negara untuk kepentingan ekonomis, politik, dan kepentingan lainnya. Kita sudah menderita bathin, jangan lagi anggaran daerah dimanfaatkan untuk kepentingan pihak lain. Hanya dengan kesadaran kolektik (bersama), orang Maluku bisa keluar dari drama kemunafikan dan angkara murka ini untuk mengadu domba kita sendiri. Orang Maluku seperti hidup di negeri antah berantah. (***)